Suap & Rugi Ratusan Miliar, Garuda Kembalikan 12 Bombardier

Monica Wareza, CNBC Indonesia
11 February 2021 09:04
Menteri BUMN Erick Thohir (BUMN)
Foto: Menteri BUMN Erick Thohir (BUMN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) geram dengan kontrak lama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dalam pengadaan pesawat Bombardier tipe CRJ 1000. Pengadaan pesawat ini rupanya beraroma suap yang memuat maskapai merah putih harus menanggung beban kerugian US$ 30 juta atau setara Rp 419 miliar per tahun.

Tak mau lama-lama menangung kerugian terus menerus, Menteri BUMN Erick Thohir bersama dengan manajemen Garuda Indonesia memutuskan untuk mengembalikan sebanyak 12 dari 18 armada pesawat Bombardier tipe CRJ 1000.

Erick menjelaskan alasan utama pengembalian 12 pesawat tersebut karena ada indikasi pidana suap yang dilakukan oleh produsen pesawat tersebut kepada manajemen Garuda Indonesia yang lama.

Saat ini proses penyelidikan yang dilakukan oleh Serious Fraud Office (SFO), Inggris dan proses yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah rampung dilakukan.

"Tentu keputusan ini ada landasannya, kita tahu bagaimana kami mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik transparan akuntabilitas dan profesional dimana juga melihat dari keputusan dari komisi pemberantasan korupsi Indonesia dan juga penyelidikan serius fraud dari Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat tahun 2011," kata Erick dalam konferensi pers virtual, Rabu (10/2/2021).

Sebanyak 12 dua diantaranya dipastikan akan dikembalikan kepada pihak leasing-nya Nordic Aviation Capital (NAC), sedangkan enam lainnya masih dalam proses negosiasi dengan Export Development Canada (EDC).

Pengembalian tersebut dalam bentuk pengakhiran kontrak lebih awal (early termination) terhadap kontrak terhadap NAC yang seharusnya berakhir pada 2027 dan EDC pada 2024.

Erick menegaska mengatakan efisiensi harus dilakukan dalam kondisi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini. Untuk itu, penyelesaian kontrak sewa pesawat Bombardier CRJ 1000 tersebut menjadi bentuk efisiensi bagi perusahaan.

"Dari data-data dapat disimpulkan bahwa Garuda Indonesia menjadi salah satu perusahaan penerbangan yang leasing cost-nya paling tinggi di dunia, yaitu sebanyak 27%. Karena itu, saya dengan tegas mendukung Manajemen Garuda untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 dan mengakhiri kontrak dengan NAC yang memang jatuh temponya pada 2027 nanti," ujar Erick.

Sebagai informasi, dari 18 armada Bombardier CRJ 1000 yang dioperasikan Garuda Indonesia saat ini, sebanyak 12 armada menggunakan skema operating lease dari lessor NAC (Nordic Aviation Capital) - perusahaan lessor pesawat yang berbasis di Denmark.

Sementara itu, 6 armada lainnya menggunakan skema financial lease dengan penyedia financial lease EDC (Export Development Canada) dari Kanada.

Masa sewa 12 armada Bombardier CRJ 1000 milik NAC tersebut adalah 12 tahun, dimana delivery armada dilakukan pada tahun 2012-2015 sehingga pesawat terakhir yang diterima Garuda memiliki masa sewa hingga 2027. Di sisi lain, 6 armada CRJ 1000 memiliki kontrak 10 tahun dengan periode jatuh tempo hingga 2024.

Kurang sesuainya jenis dan spesifikasi pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan market Indonesia mengakibatkan kinerja komersial yang tidak optimal. Untuk memperoleh biaya sewa yang terbaik dan relevan dengan kondiri Perusahaan dan pasar, negosiasi telah dilakukan dengan pihak lessor sejak awal tahun 2020 lalu.

Dari hasil negosiasi, terdapat beberapa kewajiban yang perlu dipenuhi Garuda untuk melakukan early termination, termasuk di dalamnya melakukan pembayaran early termination fee dan pemenuhan kondisi redelivery pesawat secara teknis.

Namun, hingga Garuda Indonesia memutuskan untuk stop operasi armada CRJ 1000 pada 1 Februari 2021, penawaran early payment oleh Garuda Indonesia tidak dapat diterima/tidak dapat disetujui oleh pihak lessor. Hal ini menjadi landasan Perusahaan memutuskan secara sepihak kontrak sewa pesawat 12 armada Bombardier CRJ 1000.

"Selain itu, bagaimana kami juga mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik, transparan, akuntabilitas, dan profesional, dimana melihat keputusan KPK dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat CRJ 1000 tahun 2011 lalu. Jadi, poin-poin inilah yang menjadi landasan," tandas Erick.

Di sisi lain, untuk 6 armada CRJ 1000 yang saat ini dioperasikan dengan skema financial lease, Garuda Indonesia juga telah mengupayakan langkah negosiasi bersama EDC dengan mekanisme early payment settlement sesuai dengan kemampuan perusahaan.

Erick juga mengatakan pertimbangan lainnya adalah karena adanya indikasi pidana suap yang dilakukan oleh produsen pesawat tersebut kepada manajemen Garuda saat ini proses pembelian dilakukan.

Kasus suap tersebut telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga tengah dilakukan investigasi oleh Serious Fraud Office (SFO) terhadap produsen pesawat asal Kanada tersebut.

"Tentu keputusan ini ada landasannya, kita tahu bagaimana kami mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik transparan akuntabilitas dan profesional dimana juga melihat dari keputusan dari komisi pemberantasan korupsi Indonesia dan juga penyelidikan serius fraud dari Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat tahun 2011," jelas dia.

Sementara itu, manajemen Garuda mengatakan rugi US$ 30 juta atau setara Rp 418,78 miliar (dengan asumsi kurs Rp 13.959?/US$) per tahun karena mengoperasikan pesawat Bombardier jenis CRJ 1000.

Rugi Ratusan Miliar
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan operasional pesawat tersebut mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebesar US$ 30 juta per tahun. Belum termasuk biaya sewa pesawat yang senilai US$ 27 juta per tahun atau Rp 376,91 miliar. Artinya beban yang harus ditanggung Garuda setiap tahun Rp 795,69 miliar.

"Jadi memang tidak dapat dipungkiri selama 7 tahun dioperasikan ini setiap tahun secara rata-rata mengalami kerugian penggunaan pesawat CRJ lebih dari US$ 30 juta dolar per tahun. Sedang sewanya US$ 27 juta. Jadi setiap tahun Garuda keluarkan sewa US$ 27 juta untuk 12 dan rugi lebih dari US$ 30 juta," kata Irfan saat konferensi pers, Rabu (10/2/2021).

Dia menyebutkan dengan mengembalikan pesawat ini, maka dalam beberapa tahun ke depan perusahaan akan menghemat biaya sebesar US$ 220 juta.

Irfan dalam siaran pers yang disampaikan Kementerian BUMN mengatakan Garuda Indonesia sedang menunggu jawaban dari EDC atas penawaran perusahaan untuk melakukan cash settlement sebesar UDS 5 juta dari total kewajiban Garuda Indonesia sebesar USD 46 juta untuk 6 pesawat dengan jenis yang sama.

"Saat ini, proses negosiasi dengan EDC masih terus berlangsung. Apabila hal tersebut disetujui EDC, maka 6 pesawat CRJ 1000 tersebut akan digunakan seoptimal mungkin untuk mendukung operasional Perusahaan," ujar Irfan.

Selama 8 tahun beroperasi, penggunaan Bombardier CRJ 1000 menciptakan kerugian yang cukup besar untuk Garuda Indonesia. Irfan menambahkan, apabila tetap digunakan, potensi kerugian yang muncul akan lebih besar.

Oleh karena itu, meskipun ada konsekuensi, Irfan menegaskan, pihaknya siap menanganinya secara profesional. "Pemberhentian secara terpihak akan menciptakan konsekuensi terpisah, kami siap untuk menangani konsekuensi tersebut secaraa profesional," tandas Irfan.

Lembaga penyidik pidana di pasar keuangan Inggris, Serious Fraud Office (SFO) menyebutkan bakal mulai menyelidiki dugaan korupsi di Bombardier, perusahaan produsen pesawat dan kereta yang berbasis di Kanada.

Penyelidikan ini juga melibatkan perusahaan penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sebagai pihak yang membeli pesawat Bombardier.

Dilansir dari aerotime, Penyelidikan ini dilakukan karena ada suap dan korupsi sehubungan dengan kontrak dan pesanan kepada perusahaan tersebut.

Garuda memesan enam jet seri CRJ-1000 dengan opsi untuk menambah 12 armada tambahan. Pesanan ini dilakukan pada Februari 2012 silam dalam gelaran Singapore Airshow.

Kala itu, Emirsyah Satar masih menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaan tersebut. Dalam sebuah kutipan, dia menyebutkan pemesanan jet Bombardier tersebut dilakukan karena CRJ1000 NextGen dikenal hemat bahan bakar.

Perlu diketahui, saat ini Emirsyah telah divonis 8 tahun hukuman penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Hukuman ini diterimanya lantaran melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang totalnya senilai Rp 46 miliar.

Dia juga diwajibkan mengganti kerugian negara senilai SGD 2,1 juta.

Dana tersebut berasal dari Airbus SAS, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR) dan Bombardier Inc. terkait dengan pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular