
Ada yang Ramal Harga Minyak Dunia Tembus US$ 80/barel, Yakin?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kontrak futures (berjangka) minyak mentah mengalami koreksi pada perdagangan hari ini, Rabu (10/2/2021). Maklum si emas hitam sudah menguat tujuh hari beruntun.
Pada 10.25 WIB, harga kontrak Brent terkoreksi 0,21% ke US$ 60,96/barel. Di waktu yang sama harga kontrak West Texas Intermediate (WTI) turun 0,31% ke US$ 58,17/barel. Di minggu ini saja harga minyak sudah naik lebih dari 2%.
Harga minyak tak bisa terus-terusan menguat, sehingga apabila terjadi koreksi itu adalah hal yang lumrah karena ada sebagian trader yang ingin merealisasikan keuntungannya.
Apresiasi harga kontrak minyak tak terlepas dari para hedge fund yang mengambil posisi beli (long) terhadap kontrak futures komoditas energi ini. Para fund manager ini bertaruh bahwa permintaan minyak bakal terdongkrak karena vaksinasi Covid-19 mulai gencar dilakukan.
Bahkan seorang pendiri hedge fund manager yang berbasis di New York Maglan Capital David D Tawil sangat bullish terhadap minyak di tahun ini. Ia mengatakan bahwa harga minyak berpotensi tembus US$ 70 sampai US$ 80 per akhir tahun ini.
Sebelumnya badan energi internasional (IEA) mengatakan bahwa permintaan minyak masih terhambat kenaikan kasus Covid-19 di berbagai negara dan berpotensi membuat pemulihan secara total baru terjadi di tahun 2025.
Asia masih menjadi penopang pemulihan permintaan minyak dengan China sebagai motor utamanya. Keberhasilan China sebagai salah satu importir minyak mentah terbesar di dunia mengendalikan wabah Covid-19 membuat pemulihan permintaan menjadi cerah.
Ekonomi China bangkit terlebih dahulu ketika negara-negara lain terjerembab ke jurang resesi. Ekonom dan analis meyakini pola pemulihan ekonomi Negeri Panda akan membentuk kurva 'V'.
Geliat ekonomi China membuat permintaan minyak terkerek naik. Selain China, permintaan minyak juga ikut terdongkrak oleh negara dengan populasi besar lain yaitu India.
Pemulihan permintaan minyak lebih ditopang oleh negara-negara di kawasan Asia mengingat negara Barat masih sibuk dengan lockdown yang membatasi mobilitas publik.
Tidak hanya permintaan minyak mentah saja yang mulai berangsur naik. Tren work from home (wfh) membuat perilaku konsumen mengalami pergeseran. Aktivitas belanja secara daring juga ikut menjadi faktor pendorong peningkatan permintaan minyak setelah ambrol.
Pesatnya pertumbuhan e-commerce membuat permintaan terhadap plastik dan produk-produk pengepakan lain untuk pengiriman barang naik. Tentu saja semua produk tersebut adalah turunan minyak sehingga bisa dibilang kebutuhan untuk produk olahan minyak juga mengerek naik permintaan dan harga.
Komitmen para kartel (OPEC+) untuk mempertahankan defisit pasokan juga membuat harga semakin terkerek naik. IEA melaporkan sejak produksi OPEC+ diturunkan Mei lalu, stok minyak global turun 300 juta barel.
Proyeksi OPEC+ stok minyak global akan kembali terpangkas sebesar 82 juta barel di kuartal pertama ini. Tentu saja ini menjadi katalis positif untuk harga minyak di tengah upaya untuk melakukan vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai sejak awal tahun.
Namun tantangan utama pemulihan permintaan si emas hitam masih pandemi Covid-19. Lonjakan kasus yang terus terjadi di mana-mana dan progress vaksinasi yang lambat bisa menghambat optimisme masyarakat untuk bepergian.
Hal ini mengindikasikan bahwa sektor yang sensitif dengan mobilitas publik seperti transportasi dan pariwisata kemungkinan pulih paling akhir. Tentu saja ini ikut berdampak pada permintaan bahan bakar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Tak Terbendung, Level Psikologis 80 Ditembus