Jakarta, CNBC Indonesia - Konsep bank digital di Indonesia sudah ada sejak 5 tahun silam. Salah satu pencetusnya adalah PT Bank BTPN Tbk (BTPN). Pada 11 Agustus 2016, BTPN meluncurkan aplikasi inovasi perbankan digital yang diberi nama Jenius.
Aplikasi Jenius lahir setelah 18 bulan masa pengembangan yang menelan biaya investasi mencapai kurang lebih Rp 500 miliar. BTPN mengusung tema Banking Reinvented dalam mengembangkan Jenius.
Melalui platform tersebut, BTPN menawarkan kemudahan bagi nasabah untuk bertransaksi melalui berbagai fitur yang tersedia seperti $Cashtag, Save It, Send It, Pay Me, Split Bill, eCard, dan lain-lain.
Menariknya, untuk membuka akun Jenius seorang calon nasabah tidak perlu repot-repot pergi ke kantor cabang hanya untuk mengurus administrasi. Nasabah hanya perlu membuka gadget-nya dan mengunduh aplikasi Jenius di Play Store maupun App Store.
Pendaftaran calon nasabah dilakukan secara online tanpa harus mengantre hanya untuk membuka rekening lewat customer service. Inovasi ini langsung direspons positif oleh masyarakat terutama kaum urban di kalangan generasi muda millennial yang terkenal dengan mobilitas tinggi.
Kebutuhan transaksi yang menjadi lebih praktis dan strategi promosi yang gencar membuat pertumbuhan nasabah Jenius meningkat pesat dalam waktu singkat.
Pada Juni 2018 jumlah pengguna Jenius tercatat mencapai 700 ribu. Hanya dalam waktu lima bulan setelahnya jumlah pengguna bertambah menjadi 900 ribu.
Saat pandemi Covid-19 merebak di Indonesia pada 2020, jumlah pengguna Jenius disebut sudah mencapai 2,7 juta. Di tahun 2019 platform Jenius menyumbang 5% dari total DPK BTPN.
Tahun lalu DPK dari layanan Jenius disebut mencapai Rp 10 triliun atau hampir setara dengan 10% DPK bank yang sekarang dikuasai oleh Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) tersebut.
Melihat pertumbuhan yang pesat, para pesaing pun bermunculan. Tak mau kalah, setahun setelah peluncuran Jenius, DBS Indonesia meluncurkan Digibank yang mengusung tema Bank Less Live More.
Bank asal Australia yaitu Commonwealth Bank juga ikut berpartisipasi dalam persaingan bank digital melalui kendaraan yang diberi nama TymeDigital pada Agustus tiga tahun silam.
Layanan perbankan digital pun terus bermunculan setelahnya. PT Bank Bukopin Tbk (BBKP), PT Bank Permata Tbk (BNLI) dan PT Bank Danamon Tbk (BDMN) juga ikut berpartisipasi dalam kompetisi tersebut.
Perkembangan bank digital di Tanah Air semakin pesat dalam dua tahun terakhir. Untuk menjadi bank digital, lembaga perbankan konvensional dapat menempuh jalur transformasi model bisnis maupun lewat cara lain seperti melakukan aksi korporasi lewat akuisisi.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) merupakan salah satu yang menempuh jalan kedua. Rencananya tahun ini Bank Digital BCA akan mulai beroperasi. Layanan ini terbentuk setelah BBCA mengakuisisi Bank Royal senilai Rp 988 miliar pada akhir 2019.
Langkah serupa juga dilakukan oleh pebankir senior sekaligus mantan bos BTPN Jerry Ng yang mengakuisisi PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO) lewat kendaraan yang bernama PT Metamorfosis dengan menguasai 37,65% saham ARTO.
Jerry Ng tidak sendirian, akuisisi 51% kepemilikan ARTO juga dilakukan bersama investor strategis lain. Adalah Patrick Sugito Waluyo, pendiri firma investasi NorthStar yang juga sekaligus investor perusahaan rintisan Gojek.
ARTO yang tadinya bernama Bank Artos berganti nama menjadi Bank Jago di bawah kepemilikan Jerry Ng dan Patrick Walujo. Lewat skema right issue, ARTO berhasil meraup suntikan dana sebesar 1,34 triliun dan membuatnya naik kelas menjadi Bank BUKU II.
Suntikan modal tersebut digunakan oleh perusahaan untuk pengembangan infrastruktur, teknologi informasi, sumber daya manusia dan memperkuat permodalan perbankan.
Aksi akuisisi selanjutnya dilakukan oleh pengusaha kondang Chairul Tanjung. Lewat PT Mega Corpora yang menaungi lini bisnis keuangan CT Corp, pria yang dikenal dengan sebutan 'Anak Singkong' tersebut mencaplok bank BUKU I yaitu PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI).
Aksi korporasi yang dilakukan oleh PT Mega Corpora tersebut telah direstui oleh para pemegang saham BBHI dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan akhir Januari lalu.
Para pemegang saham menyetujui pengambilalihan 73,71% dari jumlah saham yang ditempatkan dan disetor dalam Perseroan dari PT Hakimputra Perkasa oleh PT Mega Corpora.
Selain itu pemegang saham juga merestui perubahan anggaran dasar perseroan dan penunjukan jajaran direksi baru. Di bawah naungan PT Mega Corpora, BBHI akan bertransformasi menjadi bank digital.
Tidak hanya perbankan dan korporasi besar saja yang melirik prospek bisni perbankan digital, perusahaan-perusahaan rintisan (start up) pun ikut mengakuisisi bank untuk dijadikan bank digital.
Pada Maret 2019 start up pinjaman online (fintech) Akulaku melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia mengambil alih 5,2% kepemilikan saham PT Gozco Capital di PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB). Dalam private placement yang terjadi akhir Maret 2019, Akulaku menambah kepemilikan sahamnya di BBYB sebesar 8,29%
Kepemilikan saham grup fintech asal China tersebut di BBYB terus bertambah seiring dengan tergerusnya porsi kepemilikan PT Gozco Capital dan PT ASABRI (Persero). Kini total kepemillikan saham Akulaku di BBYB menjadi 24,98%. Di bawah kendali Akulaku, BBYB berganti nama menjadi Bank Neo Commerce.
Start up lain yang juga mengakuisisi bank adalah Gojek. Lewat unit bisnis keuangannya GoPay, start up decacorn (bervaluasi US$ 10 miliar atau Rp 140 triliun) tersebut mengakuisisi 22% saham Bank Jago dengan nilai transaksi sebesar Rp 2,25 triliun pada Desember tahun lalu.
Masuknya Gojek ke Bank Jago membuat harga sahamnya yang sudah melesat tajam semakin terbang. Sejak diakuisisi oleh investor Gojek dan mantan bos BTPN, nilai kapitalisasi pasar ARTO naik sampai ribuan persen dan membuat Jerry Ng masuk ke dalam jajaran 50 orang terkaya di RI versi majalah Forbes.
Para start up, perbankan maupun korporasi keuangan tersebut sedang berlomba-lomba untuk membangun ekosistemnya. Akulaku yang mengakuisisi BBYB untuk diintegrasikan dengan model bisnis fintech-nya, mengingat model bisnis pinjaman online di Tanah Air masih membutuhkan peran perbankan.
Hal serupa juga akan dilakukan Gojek. Lewat akuisisi ARTO rencananya Gojek akan semakin mematangkan ekosistem digital yang sudah dibangunnya selama 10 tahun di sektor keuangan (GoPay) maupun unit bisnis lainnya.
CT Corp lewat Mega Corpora juga tak mau ketinggalan untuk semakin memantapkan ekosistem bisnisnya yang sudah menggurita. Adanya bank digital akan semakin mendukung lini bisnis orang terkaya ke-9 di RI versi Forbes itu terutama untuk sektor konsumennya yang terdiri dari perusahaan keuangan, jaringan pusat perbelanjaan hingga travel dan hotel.
Sementara itu bagi perbankan seperti BBCA, BTPN, BDMN, BNLI dan segenap pemain lainnya praktik bank digital menjadi prioritas utama agar tetap relevan dengan permintaan serta kebutuhan nasabah serta untuk semakin memperkuat posisinya di tengah era persaingan yang ketat.
Ke depan waja-wajah baru pemain bank digital masih akan terus bermunculan. Berbagai bank yang ingin mewujudkan ambisinya untuk menjadi bank digital akan memanfaatkan pasar modal untuk mendapatkan tambahan modal.
Pada awal tahun 2020, Bank Amar resmi melepas 1,2 miliar sahamnya ke publik melalui penawaran perdana (IPO) dengan nilai Rp 174/lembar. Melalui IPO tersebut PT Bank Amar Tbk (AMAR) berhasil meraih dana segar senilai Rp 209 miliar.
Nama Bank Amar sebagai pemain di industri bank digital juga sudah tidak asing. Dalam beberapa tahun terakhir AMAR sibuk bertransformasi menjadi bank digital terutama dengan layanan unggulannya yaitu Tunaiku yang berusaha untuk menyasar segmen yang belum dilayani oleh lembaga keuangan formal (underserved segment).
Terbaru ada PT Bank Net Syariah Tbk (BANK) yang melantai di bursa saham RI. Baru dua hari melantai di bursa harga saham BANK tembus auto reject atas (ARA). Bank yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh PT NTI Global ini berhasil meraup dana segar lebih dari Rp 500 miliar.
Dengan target yang sama yaitu komunitas masyarakat yang belum tersentuh layanan finansial BANK akan menyasar segmen syariah yang juga memiliki prospek cerah ke depan mengingat Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia.
Lanskap kompetisi bank digital akan semakin seru. Aksi caplok mencaplok bank oleh perusahaan rintisan diperkirakan masih akan terjadi.
Berdasarkan rumor yang beredar di kalangan pelaku pasar induk usaha perusahaan e-commerce Shopee yaitu Sea Group akan mencaplok salah satu bank di Indonesia.
Melansir Straits Times, perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut akan mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi dan satu bank lain yang akan dimerger dan menjadi bank digital untuk melayani konsumen Shopee.
Persaingan bank digital yang semakin semarak tak terlepas dari prospek pertumbuhan ekonomi digital yang pesat di tahun-tahun mendatang. Riset Google, Temasek dan Bain menyebut pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia bisa mencapai lebih dari 30% beberapa tahun mendatang.
Ini berarti kue ekonomi digital di Indonesia akan semakin besar ukurannya. Masih tingginya populasi yang belum terjamah layanan keuangan formal tetapi dibarengi dengan tingginya penetrasi internet serta ponsel cerdas di Indonesia menjadi peluang besar untuk menggarap usaha bank digital.
Dua tahun silam Bank Dunia melaporkan hanya 48,9% masyarakat RI usia dewasa (>15 tahun) yang memiliki tabungan di bank. Namun lebih dari 160 juta orang memiliki akses ke internet. Banyak dari masyarakat Tanah Air yang juga memiliki ponsel pintar.
Praktik bank digital akan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan inklusi keuangan dalam negeri yang bisa langsung memberikan akses kepada masyarakat di berbagai pelosok negeri.
Dengan adanya bank digital, ekosistem bisnis keuangan diharapkan bakal semakin terintegrasi. Masyrakat bisa mengakses berbagai produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari asuransi, pasar modal seperti obligasi, saham dan reksadana bahkan hingga valuta asing (valas).
Bank digital bakal punya peran sentral dalam mengintegrasikan ekosistem keuangan tersebut dan menjadi salah satu platform one stop solution untuk kebutuhan keuangan masyrakat Indonesia.
Model bisnis ini juga memungkinkan bank untuk menghemat belanja modal serta ongkos operasionalnya untuk mendirikan kantor cabang dan mengalihkannya ke investasi di infrastruktur teknologi digital.
Kendati tujuan bank digital adalah menuju branchless banking, tetapi untuk saat ini keberadaan kantor cabang masih dibutuhkan dan relevan mengingat rendahnya literasi keuangan masyarakat.
Survei yang dilakukan oleh lembaga konsultan manajemen global McKinsey & Company di Indonesia menunjukkan sekitar empat dari lima responden menyatakan bahwa
lokasi cabang dan ATM sebagai alasan memilih bank.
Selain itu, transaksi digital tetap ada yang sekarang ditwarkan juga masih terbatas pada layanan dan produk sederhana. Di sisi lain aspek keamanan siber juga menjadi perhatian yang serius dalam bertransaksi lewat digital.
Dengan begitu kantor cabang bisa digunakan sebagai salah satu channel informasi dan transaksional yang aman bagi nasabah sebagai bagian dari jawaban atas kekhawatiran akan aspek keamanan siber.
Well, kendati prospeknya sangat cerah tetapi bukan berarti tak ada tantangan. Selain aspek inovasi yang ditawarkan oleh para pemain, regulasi juga memegang peran penting yang bakal semakin menunjang perkembangan industri bank digital nasional.
Dari segi regulasi, saat ini Indonesia masih bisa dibilang ketinggalan dengan inovasi yang terus dikembangkan. Ini menjadi tantangan sekaligus PR bagi para regulator.
Saat ini Indonesia masih memasuki fase early growth untuk industri bank digital. Persaingan akan semakin ketat dan dinamis ke depannya. Saat ini masih terlalu dini untuk meramalkan siapa yang bakal jadi jawara di industri ini.
Namun kunci sukses untuk menjadi jawara bank digital di Indonesia terletak pada inovasi, kolaborasi dan integrasi ekosistem.
TIM RISET CNBC INDONESIA