Ada Fenomena Ekstrem Bursa, Dulu ARA Kini ARB, Ada Apa Sih?

Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
30 January 2021 14:45
Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami tekanan berat dalam perdagangan pekan kemarin. Bahkan saham-saham blue chip terkena auto reject bawah (ARB). Pada penutupan tercatat IHSG turun 1,96% ke posisi 5.862, turun 7,05% dalam sepekan.

Menurut Analis Samuel Sekuritas, Muhammad Alfatih, sebelumnya saham-saham sedang mengalami masa uptrend, dimana banyak investor baru ikut terlibat tanpa pengetahuan yang cukup dengan masuk pasar modal tanpa melihat nilai valuasi perusahaan sebenarnya.

"Bahkan berani melakukan transaksi dengan marjin, saat itu pun kondisi regional juga mendukung," katanya kepada CNBC Indonesia, Sabtu (30/1).

Sebelumnya memang ada beberapa sentimen positif yang mengguyur bursa seperti sovereign wealth fund (SWF), pengembangan baterai listrik, dan isu vaksinasi yang menjadi obat kuat perdagangan di bursa. Hal ini sempat memunculkan saham-saham terkait menyentuh batas atas auto reject (ARA).

Namun saat kondisi pasar mulai jenuh, dan sudah banyak investor yang melakukan profit taking dengan menjual sahamnya. Sentimen saat ini juga cukup negatif dengan masuknya rilis laporan keuangan 2020 yang terindikasi menuai rapor merah di banyak perusahaan.

Alfatih menjelaskan ketika terjadi pembalikan arah trend dengan kondisi regional yang juga tidak menguntungkan. Maka dengan mudah saham-saham yang jatuh di atas kondisi fundamentalnya mengalami tekanan jual.

Di satu sisi investor sudah mengalami keuntungan jika melihat dari Maret 2019 indeks di bawah 4.000, pergerakan indeks hingga mencapai puncak 6.500. Sementara investor pemula yang terlambat membeli dan menggunakan margin mengalami kondisi force sell.

"Ketika terjadi ARA 20-35%, namun ketika ARB sekitar 7% jadi skala ARA setara dengan tiga kali ARB, maka ARB akan terasa lebih dahsyat," katanya.

Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Indonesia, Suria Dharma juga menilai awalnya banyak terjadi ARB lantaran adanya margin call dalam transaksi margin.

"Awalnya kemungkinan karena margin call, karena saham ARB sedangkan untuk top up, nggak ada dana, maka terpaksa harus menjual saham-saham lainnya (force sell)," katanya.

Saat ini juga banyak investor retail banyak yang tidak melihat valuasi saham tertentu, tapi masuk ke pasar modal dengan ikut-ikutan teman atau influencer.

"Biasanya kalau investor asing keluar bursa turun, tapi kali ini tidak terjadi, penurunan justru terjadi karena dominan investor ritel lokal," katanya.

Sementara, Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji menilai sentimen dalam negeri masih banyak yang positif untuk menopang perdagangan pekan depan. Walaupun penurunan akan terjadi karena pelaku pasar mulai melakukan aksi profit taking setelah naiknya beberapa saham beberapa waktu belakangan. Makanya pergerakan pekan depan masih diprediksi bursa masih dalam tren menurun.

"Vaksinasi masih sebagai game changer, sentiment SWF memberikan katalis positif bagi meningkatnya capital inflow," katanya.

Secara teknikal dia melihat berdasarkan indikator MACD telah membentuk dead cross di area positif. Sementara stochastic dan RSI masih menunjukkan sinyal yang sangat negatif, di sisi lain beberapa pola downward bar yang mengidentifikasikan adanya potensi pelemahan lanjutan para pergerakan IHSG. Adapun berdasarkan rasio Fibonacci support dan resistance berada di 5.699,45 - 5.992,73.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dari ARA jadi ARB Berjamaah, Ada Apa dengan Bursa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular