
Kalang Kabut! 83 Saham Kena ARB Berjamaah, Gegara Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan koreksinya selama 4 hari beruntun pada perdagangan Selasa kemarin (26/1/21). IHSG ditutup anjlok parah 1,89% ke level 6.140,17.
Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih sebanyak Rp 249 miliar di pasar reguler dengan nilai transaksi menyentuh Rp 17,6 triliun. Terpantau 94 saham terapresiasi, 395 terkoreksi, sisanya 138 stagnan.
Di antara saham-saham yang terkoreksi ternyata banyak yang ambruk parah.
Tengok saja pada perdagangan kemarin tercatat 83 emiten terkoreksi di level terendah yang diizinkan oleh regulator alias ARB atau mendekati ARB dengan koreksi lebih dari 6%. ARB adalah auto reject bawah dengan maksimal penurunan dalam sehari 7%.
Hal ini tentu saja mengingatkan para investor ketika pasar anjlok parah dan menyentuh level ARB selama berhari-hari Maret silam.
Saat itu terjadi ARB berkali-kali atas sejumlah saham karena ketakutan akan ketidakpastian virus corona, meskipun berbeda dengan saat itu, di mana saham-saham berkapitalisasi pasar raksasa juga ikut tumbang ke level ARB sedangkan saat ini hanya saham-saham berkapitalisasi pasar menengah yang terpantau ambruk.
Beberapa saham yang sedang populer di kalangan investor ritel dan aktif ditransaksikan menjadi korban.
Lantas siapa saja?
Sejumlah saham yang sampai ARB dan mendekati ARB di antaranya saham dengan transaksi terjumbo pada perdagangan kemarin yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang anjlok 6,97% serta sister company-nya PT Timah Tbk (TINS) terkoreksi 6,73%.
Saham 'hits' lain yang anjlok hingga ARB termasuk PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS), empat BUMN Konstruksi yang semuanya anjlok mendekati ARB.
Lainnya yakni saham properti PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), peritel PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) serta duo saham semen dan beton yakni PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON) dan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) juga tidak lupa mengisi daftar ARB ini.
Tidak lupa tentunya empat saham farmasi yang sempat menjadi idola para investor ritel karena harganya yang melesat kencang ikut ambruk hingga ARB yakni PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA), PT Indofarma Tbk (INAF), PT Phapros Tbk(PEHA), dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF).
Selanjutnya dari saham batu bara muncul nama PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) dan PT Indika Energy Tbk (INDY) yang juga anjlok ke level terendahnya, ada pula maskapai nasional PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), duo perusahaan otomotif grup Salim, PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) dan PT Indomobil Multi Jasa Tbk (IMJS).
Dari sektor agrikultur juga ikut berkontribusi menyumbangkan emiten ARB yakni PT Eagle High Plantations Tbk(BWPT) dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS).
Selain emiten-emiten yang sudah disebutkan di atas masih banyak lagi nama-nama besar lain yang terpaksa terkoreksi parah pada perdagangan kemarin.
Fenomena ini tentu saja membuat para pelaku pasar bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa bisa ambruk massal seperti ini ?
NEXT: Kenapa Bisa Terjadi ARB?
Well, hal ini terjadi pertama tentunya akibat aturan ARB asimetris yang diterapkan oleh bursa, di mana batasan kenaikan maksimal (ARA) bisa mencapai 35% namun koreksi maksimal hanya dibatasi 7% dalam sehari, sehingga apabila saham sudah melesat kencang maka akan terkoreksi di level ARB selama berberapa hari.
Bursa menetapkan aturan ARB menjadi maksimal 7% mulai 13 Maret 2020 dari sebelumnya ARB sebesar 10%, dan ARB 7% ini berlaku selama masa pandemi Covid-19.
Sebelumnya diberlakukan kebijakan auto rejection simetris yakni batas atas dan batas bawah memiliki besaran yang sama di setiap fraksi harga.
Selain itu rendahnya batasan ARB juga memicu aksi jual trader dimana jika saham sudah anjlok 5%-6% para trader buru-buru melakukan aksi jual di level ARB agar dana tidak menyangkut. Apalagi jika suatu saham ARB maka potensi koreksi di keesokan hari sangatlah tinggi sehingga anjloknya saham hingga titik terendah lebih cepat terjadi.
Faktor psikologis juga menjadi berpengaruh, apabila ARB dibiarkan normal maka bisa saja berberapa saham yang aktif ditransaksikan tidak akan ambruk separah ini karena bahaya nyangkut yang ditakutkan para investor yang memicu aksi jual tidak akan terjadi.
Selanjutnya berberapa analis juga menganggap ambruknya berberapa saham yang ramai diperdagangkan diakibatkan oleh berberapa trader yang melakukan pembelian menggunakan trading limit (TL). Dengan begitu, ketika saham anjlok dan sang trader tidak dapat menyuntikkan dana untuk menutupi limitnya, sekuritas terpaksa melakukan jual paksa alias forced sell terhadap saham-saham yang dibeli sang trader pada hari keempat (T 4).
Setelah sahamnya ambruk, hal ini menyebabkan efek domino berkelanjutan, di mana para investor yang melakukan pembelian menggunakan margin, tidak dapat menutupi rasio kecukupan asetnya dan terkena margin call. Ketika banyak investor yang tidak dapat menutup pembelianya maka forced sell efek-efek margin berlanjut dan membuat indeks terkoreksi parah selama berberapa hari.
Hal ini sangat dimungkinkan sekali mengingat nilai transaksi bursa selama 3 hari terakhir tergolong sangat sepi yakni di bawah Rp 18 triliun turun dari posisi normal yang berada di kisaran Rp 23 triliun - Rp 24 triliun.
Turunya nilai transaksi terjadi karena para trader yang melakukan pembelian menggunakan TL tidak lagi dapat melakukan pembelian karena belum membayar 'hutangnya' alias suspend buy pada T 3.
Apalagi akhir-akhir ini beredar tangkapan layar di kalangan para pelaku pasar, ketika salah satu sekuritas besar di Indonesia mengatakan banyak nasabah yang gagal menutup pinjaman trading limit-nya berberapa hari terakhir dan menyarankan agar para nasabah bertransaksi sesuai dengan kecukupan modalnya masing-masing yang tentu saja mengkonfirmasi analisis ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Miris! IHSG Laju Kencang, 4 Saham Ini Nyaris Kena ARB