Analisis

Saham Saratoga Milik Sandi Uno Melesat Terus, Masih Murah?

Tri Putra & Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
25 January 2021 08:08
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf)  Sandiaga Uno (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham emiten yang dimiliki oleh Grup Saratoga, milik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dan pengusaha Edwin Soeryadjaya, melesat terus sepanjang pekan lalu (18-22 Januari). Grup ini di bawah kendali holding PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG).

Pada Jumat (22/1/2021) harga saham SRTG melesat 25% tembus level auto reject atas (ARA) ke level Rp 6.000/unit.

Bahkan pada penutupan perdagangan Jumat, antrean pembelian yang menanti di level ARA menyentuh angka 11.176 lot atau senilai Rp 6,70 miliar yang mengindikasikan apresiasi akan berlanjut pada perdagangan hari ini.

Dalam sepekan terakhir harga saham SRTG mampu melesat 75% dan membawanya ke level tertinggi (all time high) sejak melantai di bursa saham domestik.

Usut punya usut apresiasi saham yang fantastis terjadi setelah perusahaan investasi yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 2013 ini menjadi salah satu investor bagi perusahaan yang menawarkan saham perdananya (IPO) di Bursa Nasdaq, Amerika Serikat (AS).

Sebelumnya, SRTG menjadi salah satu anchor investor yang membeli 1 juta saham perusahaan Provident Acquisition Corp yang melantai di Nasdaq. Provident Group sendiri merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Saratoga.

Provident Acquisition Corp yang melantai sejatinya bukanlah perusahaan sembarangan karena perusahaan ini tidak memiliki kegiatan operasional dan komersial sama sekali.

Perusahaan ini termasuk ke dalam Special Purpose Acquisition Company (SPAC) atau yang dikenal dengan perusahaan cek kosong.

Berbeda dengan perusahaan biasa, SPAC memberikan keunggulan dan keuntungan dalam hal pendanaan. Apabila melalui jalur IPO tradisional perusahaan umumnya harus melalui serangkaian proses untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan regulator seperti menunjukkan laporan keuangan yang sudah diaudit.

Namun lewat SPAC itu semua tidak perlu. Proses IPO (initial public offering, penjualan saham perdana) berjalan lebih singkat karena memang SPAC tidak memiliki kegiatan operasional dan komersial apapun.

SPAC hanyalah perusahaan cangkang yang berfungsi untuk menghimpun dana dari investor yang kemudian akan digunakan untuk membeli, mereorganisasi hingga melakukan merger dengan perusahaan non-publik. Kegiatan ini kemudian disebut sebagai business combination atau biasa lebih dikenal dengan sebutan backdoor listing.

SPAC menjadi menarik dijadikan opsi untuk melantai di pasar modal oleh perusahaan rintisan alias startup karena prosedurnya yang cenderung lebih mudah dan tidak berbelit-belit dibandingkan dengan melantai di pasar melalui proses penawaran publik perdana (IPO) karena prosesnya yang tergolong lebih murah dan cepat.

Para pengelola dana besar seperti Bill Ackman lewat SPAC-nya Pershing Square Tontine Holding berhasil meraup dana yang besar di tahun lalu mencapai US$ 4 miliar. Bahkan terbesar dalam sejarah yang pernah tercatat untuk kasus SPAC.

Kemudian ada juga mantan bos Facebook yang kemudian mendirikan perusahaan pendanaan startup (venture capital) Social Capital yakni Camath Palihipathiya juga melakukan hal serupa dengan Bill Ackman. Ia mendirikan SPAC yang kemudian digunakan untuk mengakuisisi 49% saham Virgin Galactic besutan Richard Branson.

Social Capital berinvestasi di saham Virgin Galactic dengan merogoh kocek sebesar US$ 800 juta pada 2019. Sisanya sebanyak 51% tetap dikuasai oleh Richard Branson. Setelah berhasil melantai di bursa New York, harga saham perusahaan yang bergerak di sektor luar angkasa itu melesat. Terakhir pada pekan lalu nilai kapitalisasi pasarnya mencapai US$ 8 miliar.

Itulah sekilas tentang SPAC.

Nah untuk kasus SRTG, Provident Acquisition Holding bertindak sebagai sponsor. Orang di balik perusahaan investasi dengan nama Provident sudah tidak asing lagi tentunya di telinga para pelaku pasar yakni Winato Kartono.

Provident Capital dan Provident Growth sebelumnya memang sudah sering menjadi mitra SRTG dalam berinvestasi di berbagai perusahaan publik Tanah Air seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Tower Bersama Group Tbk (TBIG) dan PT Provident Agro Tbk (PALM).

Kemitraan dalam berinvestasi keduanya sudah berjalan sejak lama. Berdasarkan prospektus SPAC Provident Acquisition Corp yang didapat Tim Riset CNBC Indonesia lewat situs resmi Security Exchange Commission (SEC) AS, SRTG masuk lewat anak usahanya yaitu PT Nugraha Eka Kencana dengan membeli 1 juta lembar saham kelas A SPAC yang bakal melantai di Nasdaq ini.

Dalam prospektus tersebut Provident Acquisition Corp berencana untuk menarget perusahaan yang bergerak di sektor konsumen dan teknologi di kawasan Asia Tenggara. Perlu diketahui bersama Provident Group juga berinvestasi di perusahaan rintisan di kawasan Asia Tenggara terutama di Indonesia.

Beberapa perusahaan rintisan yang menjadi investee Provident Group antara lain start up unicorn (bervaluasi US$ 1 miliar) seperti Traveloka. Selain Traveloka Provident Group juga berinvestasi di JD.ID, Pomelo dan Advance.AI. 

NEXT: Bagaimana valuasinya?

Berbicara soal valuasi, kendati tembus level ARA dan menguat hampir 75% dalam sepekan, harga saham SRTG masih relatif terdiskon dari nilai bukunya.

Mengacu pada laporan keuangan perusahaan September 2020, nilai buku per saham (PBV) SRTG berada di Rp 8.760/unit. Artinya saat ini SRTG ditransaksikan di 0,68 kali nilai bukunya alias undervalued karena berada di bawah median PBV perusahaan investasi publik di angka 1,01 kali.

Apabila menggunakan metode valuasi laba bersih dibandingkan dengan harga pasarnya (PER) juga masih tergolong murah dengan PER SRTG di angka 10,19 kali, lagi-lagi berada di bawah median perusahaan investasi publik yang memiliki PER sebesar 12,18 kali.

Selanjutnya, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang investasi, mengukur valuasinya juga harus menggunakan pendekatan lain. Salah satunya dengan melihat nilai aktiva bersih atau net asset value (NAV) setelah dikurangi kewajibannya.

Nilai NAV SRTG per September 2020 berada di Rp 20,6 triliun. Namun saat ini nilai NAV-nya seharusnya juga ikut bertambah seiring dengan kenaikan harga saham perusahaan investee-nya yaitu PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Tower Bersama Group Tbk (TBIG), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan PT Mitra Pinastika Multika Tbk (MPMX).

Mulai dari hari pertama Oktober sampai akhir perdagangan pekan lalu, semua investee SRTG mengalami kenaikan kapitalisasi pasar lebih dari 10%. Bahkan ada yang lebih dari 50%. Tercatat saham ADRO naik 14,4%. MPMX melesat 48,2%. Kemudian saham MDKA terapresiasi 48,92%. Terakhir ada saham TBIG yang naik 53,07%.

Berdasarkan kalkulasi CNBC Indonesia menggunakan acuan pergerakan harga investee SRTG yang merupakan perusahaan publik di Tanah Air dengan kepemilikan langsung dengan asumsi harga aset lainnya dan kewajiban neto perusahaan tetap, maka NAV emiten Sandiaga Uno dan Edwin Suryadjaja ini mengalami kenaikan sebesar 56% atau naik Rp 10,63 triliun dari posisi September 2020 menjadi Rp 31,2 triliun per Jumat pekan lalu (22/1/2021).

Dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp 16,3 triliun di akhir pekan lalu maka harga saham SRTG masih terdiskon lebih dari 50% dari nilai aktiva bersihnya. Artinya dengan kenaikan harga saham SRTG yang sudah sangat tinggi pun valuasinya masih terbilang sangat murah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular