ANALISIS

Super Cycle Siap Bawa Batu Bara US$ 100/ton, Sahamnya Gimana?

Tri Putra & Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
18 January 2021 08:23
Ilustrasi IHSG
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Dengan melesatnya harga komoditas batu bara tentunya ini akan menguntungkan saham-saham produsen batu bara, akan tetapi mana saham batu bara yang secara historis paling diuntungkan dengan kenaikan harga kontrak batu bara Newcastle?

Saham batu bara mana yang paling murah dan berpotensi naik paling tinggi?

Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Dapat dilihat dari grafik di atas pada kedua siklus batu bara, saham batu bara yang menjadi pemenang dalam urusan capital gain adalah PT Petrosea Tbk (PTRO) pada siklus batu bara 2008-2016 dan induk usaha PTRO yakni PT Indika Energy Tbk (INDY) pada siklus batu bara 2016-2020.

Tercatat pada siklus batu bara pertama tepatnya April 2012, PTRO mampu melesat kencang hingga 1.164% atau kenaikan hingga 11 kali lipat. Sedangkan pada puncak kejayaanya Januari 2018, INDY terbang hingga 4.074% alias kenaikan sebesar 40 kali lipat.

Kencangnya pertumbuhan harga saham Grup Indika ketika harga batu bara Newcastle terbang tentunya terjadi karena perseroan merupakan salah satu perusahaan batu bara dalam negeri yang paling diuntungkan dengan kenaikan harga batu bara Newcastle dibandingkan dengan emiten batu bara lain.

Hal ini terjadi karena portofolio produk batu bara Indika Energy yang diproduksi oleh Kideco Jaya Agung yang merupakan anak usaha INDY merupakan batu bara termal yang nilai kalorinya cenderung lebih tinggi dibanding dengan produsen lain.

Rata-rata nilai kalori batu bara KJA adalah 4.600 Kcal/Kg. Nilai kalori yang tinggi membuat rata-rata harga jual (ASP) juga tinggi. Di saat yang sama profitabilitas dari INDY juga masih tetap terjaga. Menurut Fitch Ratings, INDY termasuk salah satu produsen batu bara lokal yang memiliki profitabilitas tinggi.

Nilai EBITDA/ton batu bara yang dihasilkan masih tinggi artinya perusahaan mampu untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk menambang si batu hitam. Dengan asumsi cash cost (diluar royalti) yang cenderung stabil dan dibarengi dengan kenaikan ASP maka akan menjadi positif untuk bottom line perusahaan.

Lebih lanjut Fitch Ratings menjelaskan bahwa dengan cadangan batu bara yang besar yakni mencapai 535 juta ton tetapi produksinya relatif kecil sebesar 34 juta ton per tahun, INDY masih mungkin untuk memangkas biaya produksi ketika harga batu bara anjlok signifikan.

Hal ini juga dibuktikan dengan kinerja KJA yang mampu menurunkan cash cost (di luar royalti) mencapai 11% (yoy) pada 9M20 ketika ASP drop 15%. EBITDA/ton KJA pun masih positif di angka US$ 4,25.

Keunggulan cash cost INDY sendiri ditranslasikan menjadi sangat rendahnya harga batu bara INDY untuk balik modal alias breakeven di angka US$ 48,79/ton jauh dibandingkan dengan kompetitornya dari dalam negeri yang membutuhkan batu bara di harga sekitar US$ 50/ton untuk balik modal.

Singkat cerita, INDY merupakan market leader di bidang produksi batu bara domestik dengan biaya murah.

Selain itu batu bara yang diproduksi oleh Kideco Jaya Agung juga mayoritas diekspor ke luar negeri yakni sebesar 69% dimana 35% diantaranya diekspor ke China dan hanya 31% yang dijual di dalam negeri.

Hal menyebabkan pergerakan harga batu bara acuan Newcastle akan lebih sensitif terhadap kinerja keuangan INDY dibandingkan dengan emiten lain.

Bandingkan dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang kenaikanya paling moderat diantara emiten batu bara lain ketika harga batu bara Newcastle melesat. Bahkan pada siklus pertama tercatat PTBA hanya mampu terparesiasi hingga 233% sedangkan pada siklus kedua PTBA mampu menanjak hingga 447%.

Hal ini tentu tidak terlepas dari produk batu bara PTBA yang mayoritasnya yakni sebesar 59% di gunakan di dalam negeri oleh klien utamanya yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga penjualan dilakukan dengan Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang diperbaharui sebulan sekali sehingga kinerja keuangan perseroan tidak terlalu sensitif terhadap harga batu bara Newcastle.

Secara valuasi, baik menggunakan valuasi harga dibandingkan dengan nilai bukunya (PBV) dan harga dibandingkan dengan laba bersihnya (PER) saham batu bara yang tergolong paling murah adalah PTRO dengan PBV sebesar 0,64 kali dan PER sebesar 7,84 kali.

Akan tetapi apabila melihat Price/Cash Rationya, INDY menjadi emiten yang paling menarik dipantau dengan P/C ratio sebesar 1,4 kali. Hal ini menunjukkan perseroan memiliki kas atau setara kas per saham yang sangat jumbo (cash rich) dibandingkan dengan harga sahamnya.


Tercatat pada kuartal ketiga tahun 2020 perseroan memiliki kas dan setara kas per saham sebesar Rp 1.272/saham sehingga harga sahamnya di angka Rp 1.790/saham masih tergolong murah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular