Analisis

Super Cycle Siap Bawa Batu Bara US$ 100/ton, Sahamnya Gimana?

Tri Putra & Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
18 January 2021 08:23
Bongkar Muat Batu bara di Terminal  Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara.
Foto: Bongkar Muat Batu bara di Terminal Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan permintaan batu bara global di tahun ini akan meningkat 2,6% dibanding tahun lalu seiring dengan adanya geliat ekonomi yang mendongkrak kebutuhan terhadap listrik produk-produk industrial.

Selain karena adanya kemungkinan pemulihan ekonomi, batu bara juga diuntungkan dengan harga gas yang melonjak tajam. Gas terutama gas alam cair (LNG) juga banyak digunakan untuk sektor pembangkit listrik.

Permasalahan yang sama juga dihadapi oleh sektor ini. Ketatnya pasokan di saat kenaikan permintaan menjadi pemicu naiknya harga.

"Batu bara terbukti sangat tangguh, sementara beberapa negara bergerak untuk mempercepat penghentian pembangkit batu bara, secara keseluruhan pembangkit berbahan bakar batu bara di Asia masih on track meningkat untuk beberapa tahun mendatang," kata Alex Whitworth, direktur riset di konsultan Wood Mackenzie.

"Kekurangan listrik dan harga gas spot yang sangat tinggi musim dingin ini mengingatkan pemerintah, bisnis, dan konsumen akan pentingnya batu bara," katanya.

Ketika harga gas melambung tinggi maka ada kecenderungan orang-orang akan beralih ke batu bara yang lebih murah dan efisien secara biaya. Inilah yang menjadi katalis positif untuk harga batu bara.

Selain ketatnya pasokan domestik China, pemulihan permintaan batu bara global dan harga gas yang meroket tajam, ada satu lagi katalis yang berpotensi mengerek naik harga komoditas ini lebih tinggi.

Adanya potensi commodity supercycle pasca krisis Covid-19 banyak diramalkan oleh ekonom dan analis. Era suku bunga murah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan akan energi yang meningkat akan mengangkat harga-harga komoditas mulai dari pertambangan, migas hingga pertanian.

Apabila berkaca pada krisis ekonomi terdekat yakni Global Fnancial Crises 2008, harga batu bara sempat longsor. Namun setelah itu tren bullish harga batu bara dimulai pada 2009 dan berlangsung selama dua tahun hingga 2011. Harga batu bara sempat tembus hampir ke US$ 140/ton kala itu sebelum akhirnya kembali tertekan.

Siklus kedua batu legam kembali datang setelah pada tahun 2016 pada awal tahun harga kontrak batu bara Newcastle sempat anjlok level US$ 50/ton sama persis dengan apa yang terjadi pada tahun 2020 kemarin sebelum akhirnya harga batu bara kembali reli naik.

Di posisi tertingginya pada siklus kedua, batu bara sempat diperdagangkan di harga US$ 115/ton. Melihat kondisi seperti sekarang ini bukan tak mungkin harga batu bara untuk lanjut reli. Harga batu bara berpeluang naik ke US$ 95/ton bahkan ke US$ 100/ton.

(twg/twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular