Analisis

Lo Kheng Hong Koleksi GJTL, Apa Benar Masih Murah & Menarik?

Tri Putra, CNBC Indonesia
11 January 2021 07:47
Screenshot Forbes
Foto: Screenshot Forbes

Untuk melihat apakah valuasi GJTL masih tergolong 'salah harga' alias murah maka perlu diperhatikan beberapa metrik valuasi yang umum digunakan. Salah satunya adalah dengan menggunakan indikator nilai buku (book value).

Nilai buku GJTL menggunakan laporan keuangan periode September 2020 adalah sebesar Rp 1.783/unit. Kendati saham GJTL melesat dan menyentuh level auto reject atas (ARA) pada perdagangan akhir pekan lalu ke Rp 825/unit, sejatinya harga pasarnya masih jauh di bawah nilai buku riilnya.

Saham GJTL saat ini ditransaksikan di 0,46 kali nilai bukunya (price to book value/PBV) yang tentu saja masih sangat murah apabila dibandingkan dengan rata-rata PBV industri produsen ban global yang berada di angka 2,25 kali.

Bahkan apabila menggunakan nilai intrinsik saham GJTL yang biasanya tentunya lebih besar daripada nilai bukunya, para pelaku pasar akan mendapatkan angka yang lebih menakjubkan.

Tercatat nilai intrinsik saham GJTL menggunakan metode permodelan Refinitiv StarMine Projection Model berada di angka Rp 2.301,24/unit. Bagi seorang value investor yang tertarik untuk mengkoleksi saham GJTL masih memiliki margin of safety (MOS) yang besar yaitu 64,15%.

Hal ini menunjukkan saham GJTL berpotensi mencatatkan keuntungan bagi para investor mencapai 278,93% apabila harga pasar GJTL kembali ke level nilai intrinsiknya di angka Rp 2.301.24/unit.

Namun menggunakan valuasi berdasarkan nilai buku saja tentunya tidak cukup mengingat perusahaan bergerak di sektor manufaktur yang cenderung capital intensive maka butuh metrik valuasi lain seperti dengan membandingkan harga pasar dengan laba perusahaan (price to earning/PER), harga pasar terhadap penjualan (price to sales/PS), harga pasar dengan arus kas (price to cash flow/PCF) hingga nilai perusahaan terhadap pendapatan masih kotornya (EV/EBITDA).

Metrik tersebut (valuation multiples) juga harus dibandingkan dengan perusahaan kompetitor di industri yang sejenis.

Kompetitor GJTL yang juga merupakan perusahaan publik adalah PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) yang juga menjual ban mobil dengan merek Achilles dan ban motor Corsa yang menjadi pesaing utama GJTL dan menduduki posisi produsen ban terbesar kedua di Asia Tenggara.

Menggunakan metode valuasi yang lebih sensitif dan membandingkannya dengan kompetitor, maka diperoleh kesimpulan bahwa valuasi GJTL memang tergolong murah relatif terhadap MASA karena angka metriknya yang jauh lebih rendah untuk semua indikator.

Outlook Industri

Kendati pandemi Covid-19 belum bisa dikontrol sampai saat ini, bahkan pemerintah memutuskan untuk menerapkan PSBB ketat di Jawa Bali, dimulainya program vaksinasi Covid-19 di dalam negeri menjadi harapan bangkitnya perekonomian Indonesia.

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan PDB Indonesia tahun ini berada di angka 4,4%. Lembaga keuangan global lain yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan lebih bullish karena meramal ekonomi RI tumbuh 4,8%.

Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) yang diikuti dengan penurunan suku bunga kredit diharapkan mampu mendongkrak permintaan kredit.

Penurunan suku bunga kredit tentu positif untuk sektor yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga seperti properti hingga otomotif (motor dan mobil) mengingat pembelian rumah dan barang tahan lama tersebut banyak mengandalkan kredit.

Peningkatan permintaan mobil dan motor juga positif untuk sektor manufaktur yang menopangnya seperti industri spare-part dan industri ban yang menjadi industri utama GJTL.

Selain itu industri otomotif yang merupakan industri siklikal dengan pent-up demand yang tergolong tinggi, dimana industri ini lebih diuntungkan dengan pemulihan ekonomi pasca terserang pandemi Covid-19. Hal ini tentu saja menguntungkan GJTL yang beroperasi di industri turunan otomotif.

Outlook nilai tukar rupiah juga positif. Adanya kemungkinan inflow dana asing yang masif akan mengangkat kinerja rupiah dan menurunkan volatilitasnya. Penurunan volatilitas rupiah merupakan hal yang baik bagi GJTL melihat eksposur terhadap valuta asing tergolong tinggi.

Bahkan terpilihnya Joe Biden, kandidat dari Partai Demokrat di Pemilihan Presiden Amerika Serikat juga membawa berkah tersendiri bagi GJTL. Hal ini mengingat secara historis pemimpin dari Partai Demokrat doyan menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai yang fantastis.

Dengan cairnya stimulus fiskal maka nilai mata uang Dolar AS berpotensi melemah karena jumlah dolar beredar yang meningkat sehingga tentunya hal ini akan menguntungkan GJTL yang tercatat membukukan penjualan ekspor bersih mencapai Rp 3,84 triliun atau setara dengan 39,95% total penjualan bersih GJTL.

Apalagi mengingat dari total ekspor bersih tersebut mayoritas diekspor ke Benua Amerika yakni senilai Rp 2,68 triliun sehingga tentunya dengan melemahnya nilai Greenback akan menguntungkan perusahaan secara langsung apalagi mengingat komponen produksi GJTL mayoritas merupakan produk lokal.

Selain itu sebagian besar hutang perusahaan juga tercatat dalam mata uang dolar yakni senilai Rp 556,62 miliar atau sebesar 39,46% dari total hutang perusahaan. Dengan melemahnya nilai Greenback maka perseroan akan lebih mudah untuk melunasi atau membayar bunga kewajibanya yang tercatat dalam mata uang Paman Sam.

Di sisi lain perusahaan juga berupaya untuk melakukan lindung nilai (hedging) dari fluktuasi nilai tukar dengan membeli produk keuangan derivatif berupa call spread option dengan tujuan untuk mengelola resiko nilai tukar mata uang terhadap Senior Secure Facilities perusahaan yang bernilai Rp 1,83 triliun.

Overall, outlook perekonomian dan industri yang positif di tahun 2021 diharapkan mampu mendongkrak kinerja keuangan GJTL sebagai market leader industri ban, baik di Tanah Air maupun di Asia Tenggara.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular