
Lo Kheng Hong Koleksi GJTL, Apa Benar Masih Murah & Menarik?

Akibat merebaknya pandemi Covid-19 di Tanah Air dan penerapan PSBB di berbagai wilayah, kinerja keuangan produsen ban mobil merek GT Radial ini ikut terdampak. Hal tersebut tercermin dari penurunan penjualan bersih yang mencapai 19,4% (yoy).
Pada periode 9 bulan tahun 2020 total penjualan GJTL tercatat mencapai Rp 9,62 triliun turun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 11,94 triliun.
Meskipun turun, perseroan berhasil menjadi perusahaan manufaktur ban publik dengan penjualan terbesar di Asia Tenggara, jauh melampaui posisi PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) di posisi kedua dan Southern Rubber Industry JSC asal Vietnam di posisi ketiga.
Kedua perusahaan tersebut hanya mampu membukukan penjualan masing-masing Rp 2,77 triliun dan Rp 2,12 triliun dimana angka tersebut tentunya terlihat kerdil dibandingkan dengan penjualan GJTL di angka Rp 9,62 triliun.
Perseroan memang sudah terkenal sebagai 'Raja Ban' Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari total penjualan GJTL yang mendominasi di kawasan ASEAN dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan publik lain yang bergerak di bidang yang sama.
Tercatat di tahun 2019 penjualan GJTL mencapai Rp 15,93 triliun. Angka ini berhasil menempatkan GJTL pada posisi pertama di antara produsen-produsen ban publik di Asia Tenggara lain. Bahkan angka tersebut berhasil mendominasi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan ban lain.
Meskipun penjualan terpaksa turun pada tahun 2020, pandemi nCov-19 ternyata mendatangkan keuntungan tersendiri bagi GJTL paling tidak dari sisi produksi karena beban biaya yang ditanggung oleh perusahaan juga mengalami penurunan yang cukup besar.
Beban pokok penjualan (HPP/COGS) perusahaan turun 21,4% (yoy) pada periode Januari-September 2020 dibanding tahun 2019. Di saat yang sama beban penjualan juga mengalami penurunan sebesar 28,6% (yoy).
Penurunan beban biaya emiten ban motor IRC dan Zeneos tersebut turun diakibatkan oleh rendahnya harga material untuk produksi dan penurunan tingkat utilisasi pabrik.
Kendati penurunan beban biaya jauh melebihi penurunan penjualan, GJTL harus membukukan rugi bersih senilai Rp 104 miliar hingga kuartal ketiga tahun lalu. Padahal GJTL mampu mencetak laba bersih hampir Rp 140 miliar tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, anjloknya laba GJTL lebih dipicu oleh kondisi eksternal yakni depresiasi rupiah yang tajam tahun lalu dan bukan kondisi internal perusahaan. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang tidak diaudit September 2020, kerugian selisih kurs tercatat mencapai Rp 304 miliar.
(tas/tas)