
Prospek 2021, Minyak Mentah Stabil, Batu Bara Lanjutkan Reli

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas seperti minyak mentah, batu bara, dan CPO berakhir variasi pada Tahun 2020. Harga minyak masih mengalami koreksi jika dibandingkan dengan awal tahun 2020. Namun harga batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) justru telah pulih, bahkan mencetak rekor terbarunya.
Harga kontrak futures minyak mentah baik Brent maupun West Texas Intermediate (WTI) masih di atas US$ 60 per barel saat awal 2020. Namun ketika pandemi Covid-19 merebak dan berbagai negara di dunia menerapkan karantina wilayah (lockdown) yang membuat mobilitas tertekan dan permintaan bahan bakar menurun drastis.
Pada Maret lalu ketika lockdown yang ketat diterapkan di Eropa, Amerika hingga Asia, permintaan minyak anjlok sampai 30%. Sayangnya para produsen minyak yang tergabung dalam OPEC+ justru berseteru.
Arab Saudi dan Rusia justru malah terlibat konflik dan mendiskon harga minyaknya. Surplus pasokan di pasar yang berlebih hingga tangki penyimpanan tidak muat dan banyak minyak mentah yang disimpan di kapal tanker di lautan membuat harga si emas hitam anjlok sangat signifikan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah harga kontrak WTI yang aktif diperdagangkan jatuh ke teritori negatif. Artinya konsumen justru diberi insentif oleh produsen maupun trader agar mau diberikan minyak secara cuma-cuma lantaran kapasitas penyimpanan sudah terisi penuh.
Setelah Presiden AS Donald Trump masuk untuk memediasi perseteruan tersebut akhirnya Arab dan Rusia melunak.
Kesepakatan pemangkasan produksi minyak terbesar di dunia akhirnya dicapai. OPEC+ sah memangkas produksi minyaknya sebesar 9,7 juta barel per hari (bph) atau setara dengan 10% output global.
Saat lockdown terlihat membuahkan hasil, maka pelonggaran pun ditempuh mulai bulan Juni. Harga minyak mulai tren bullish. Di saat yang sama pasokan minyak masih diatur ketat oleh para kartel. OPEC+ masih memangkas 7,7 juta bph minyak sampai akhir tahun berdasarkan pakta yang ada.
Harga minyak pun akhirnya berhasil tembus US$ 50 per barel. Namun, Minyak belum mampu kembali ke level awal tahun mengingat mobilitas publik masih sangat terbatas.
Meski program vaksinasi Covid-19 secara darurat sudah dilaksanakan, tetapi munculnya varian baru virus Corona di Inggris dan negara lain cukup membuat cemas pasar.
Berbeda dengan minyak, batu bara justru tembus rekor baru. Geliat ekonomi China ketika dunia sedang jatuh ke jurang resesi membuat permintaan terhadap komoditas terutama batu bara meningkat.
Di saat yang sama pasokan domestik China cenderung ketat. Harga batu bara lokal China bahkan sudah tembus level US$ 100 per ton.
Hal ini membuat China merelaksasi kebijakan kuota impornya. Badan Perencana dan Reformasi Nasional (NDRC) China sudah memperbolehkan para perusahaan utilitas dan di sektor manufaktur untuk mengimpor batu bara dari negara lain, kecuali Australia.
Meski produk batu bara Australia diblokir oleh China, tetapi kenyataan tipisnya pasokan domestik dan kenaikan permintaan impor Negeri Panda juga membuat harga batu bara ikut terangkat. Bahkan mengalami kenaikan paling tinggi jika dibandingkan dengan CPO maupun minyak mentah.
Berdasarkan jajak pendapat dari Reuters, Harga minyak kemungkinan tidak akan mengalami banyak perubahan pada tahun 2021 karena varian virus corona baru yang dapat menyebabkan pembatasan perjalanan Kembali dilakukan. Hal tersebut dapat mengancam permintaan bahan bakar yang sudah melemah.
Jajak pendapat dari 39 ekonom dan analis yang dilakukan pada pekan kedua bulan Desember memperkirakan harga minyak mentah Brent masih akan bergerak di kisaran US$ 50,67 per barel tahun depan.
Angka tersebut mengalami kenaikan dari jajak pendapat bulan lalu yang memperkirakan harga Brent di 2021 bergerak di kisaran US$ 49,35 per barel.
Sedangkan untuk harga minyak mentah West Intermediate (WTI) diprediksi bergerak di kisaran US$ 47,45 per barel pada 2021. Angka ini juga mengalami perubahan dari konsensus pada November 2020, di kisaran US$ 48 per barel.
Varian baru virus corona yang pertama kali terdeteksi di Inggris pada Desember 2020 dapat meningkatkan risiko pembatasan baru dikala bersamaan dengan penyebaran bertahap vaksin dapat membatasi kenaikan harga lebih lanjut.
Pemulihan permintaan minyak akan bergantung pada kecepatan penyebaran vaksin yang sedang dikembangkan untuk memerangi virus, dengan beberapa mengharapkan tidak ada kembali ke tingkat pra-pandemi sebelum akhir 2022 atau 2023.
"Strain virus baru mungkin mempersulit prospek dan kemungkinan menyebabkan penguncian yang lebih ketat dari sebelumnya yang akan melumpuhkan prospek permintaan minyak mentah untuk kuartal pertama," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA.
"Langkah-langkah penguncian tambahan dan kebijakan OPEC yang lebih berhati-hati dalam meningkatkan output akan menjadi titik fokus untuk kuartal pertama tahun ini."
Produsen OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, yang disebut OPEC , telah setuju untuk melonggarkan pengurangan produksi mereka sebesar 500.000 barel per hari mulai Januari.
OPEC dijadwalkan akan melakukan konferensinya pada 4 Januari untuk membahas kebijakan, termasuk kemungkinan pelonggaran tambahan 500.000 barel per hari pada Februari.
Reli harga batu bara dunia kemungkinan masih akan berlanjut pada tahun 2021. Menurut laporan baru dari Badan Energi Internasional, kemungkinan pulihnya kembali ekonomi global pada 2021 diperkirakan akan mendorong rebound jangka pendek dalam permintaan batu bara menyusul penurunan besar tahun ini yang dipicu oleh krisis Covid-19.
Namun, ada sedikit tanda bahwa konsumsi batu bara dunia akan menurun secara substansial di tahun-tahun mendatang, dengan meningkatnya permintaan di beberapa negara Asia yang mengimbangi penurunan benua lainnya.
Karena batu bara sejauh ini merupakan satu-satunya sumber emisi karbon terkait energi global terbesar, tren yang diuraikan dalam laporan tersebut menimbulkan tantangan besar bagi upaya untuk menempatkan emisi tersebut pada jalur yang sesuai untuk mencapai tujuan iklim dan energi berkelanjutan.
Dalam dua tahun terakhir, permintaan batu bara global mengalami penurunan, yang disebabkan oleh penurunan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat dan Eropa.
Penurunan sebesar 1,8% pada permintaan batu bara pada tahun 2019 terutama disebabkan oleh pertumbuhan permintaan listrik yang lemah dan harga gas alam yang rendah.
Di 2020, hasil riset dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan permintaan batu bara selain di Kawasan Asia menurun sebesar 5% akibat pandemi virus corona.
Berdasarkan asumsi pemulihan ekonomi dunia, laporan IEA memperkirakan permintaan batu bara global akan meningkat kembali sekitar 2,6% pada tahun 2021, didorong oleh permintaan listrik dan output industri yang lebih tinggi di kawasan Asia, terutama China, India, dan Kawasan Asia Tenggara.
Ekonomi China, India, dan Asia Tenggara bertanggung jawab atas sebagian besar pertumbuhan, meskipun Amerika Serikat dan Eropa mungkin juga mengalami kenaikan konsumsi batu bara pertama mereka dalam hampir satu dekade.
Namun, permintaan batu bara global pada tahun 2021 diperkirakan masih akan berada di bawah level tahun 2019 dan bahkan bisa lebih rendah jika asumsi laporan untuk pemulihan ekonomi, permintaan listrik, atau harga gas alam tidak terpenuhi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Imbas Kenaikan Harga Minyak Nabati, CPO Tembus Rekor