Jelang Natal, Harga Cabai Makin Nggak Damai

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 December 2020 11:40
Ilustrasi Cabe Rawit
Ilustrasi Cabai Rawit (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang Hari Natal, harga sejumlah komoditas pangan merangkak naik. Kenaikan signifikan dialami oleh produk cabai-cabaian.

Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata nasional untuk cabai merah besar pada 23 Desember 2020 mencapai Rp 59.250/kg. Turun tipis 0,08% dibandingkan hari sebelumnya tetapi naik tajam 41,24% dari posisi sebulan sebelumnya.

Harga cabai jenis lain pun naik. Misalnya harga cabai rawit hijau pada 23 Desember 2020 adalah Rp 50.000/kg. Naik hampir 50% ketimbang sebulan lalu.

Sepertinya kenaikan harga cabai akan menjadi warna dominan dalam inflasi bulan ini. Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan III memperkirakan inflasi Desember 2020 akan sebesar 0,36% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/ MtM). Kalau terwujud, maka akan menjadi laju tercepat sejak Januari 2020.

Dengan demikian inflasi sepanjang 2020 akan sebesar 1,6%. Jika terwujud, maka akan menjadi inflasi tahunan terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

"Penyumbang utama inflasi yaitu cabai merah sebesar 0,08% (MtM), telur ayam ras sebesar 0,06%, cabai rawit sebesar 0,04%, tomat sebesar 0,03%, daging ayam ras sebesar 0,02%, minyak goreng, jeruk, wortel, dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar 0,01%. Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas emas perhiasan sebesar -0,05% dan bawang merah sebesar -0,01%," sebut keterangan tertulis BI.

Sebagai negara berkembang, inflasi rendah sejatinya patut disyukuri. Sebab inflasi tinggi adalah khittah negara berkembang, yang permintaan terus tumbuh sementara produksi dalam negeri belum bisa memenuhinya. Ada dorongan inflasi yang berasal dari tingginya permintaan (demand pull inflation).

Namun sekarang beda. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang diatasi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat ekonomi mati suri. Produksi terhambat karena penerapan protokol kesehatan, dan permintaan pun anjlok karena aktivitas masyarakat di luar rumah masih sangat terbatas.

Oleh karena itu, deflasi lebih dimaknai sebagai kelesuan ekonomi. Pelaku usaha dipaksa menurunkan harga demi mempertahankan permintaan. Ini bukan ciri ekonomi yang sehat.

Kelesuan permintaan tergambar dari laju inflasi inti. Pada November 2020, inflasi inti tercatat 1,67% YoY. Ini adalah yang terendah sejak BPS melaporkan data inflasi inti pada 2004.

Inflasi inti kerap digunakan sebagai indikator kekuatan konsumsi. Sebab, inflasi inti berisi barang dan jasa yang harganya tidak mudah naik-turun alias persisten. Saat harga yang 'bandel' saja sampai turun, artinya permintaan memang sepi sehingga penjual terpaksa memangkas harga.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Sudah Bikin Jokowi Murka, Harga Sembako Belum Turun Juga!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular