Pasar "Mabuk" Likuiditas, Emas Bisa Meroket ke US$ 2.200

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 December 2020 18:10
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia ambrol pada perdagangan Rabu kemarin setelah membukukan penguatan dalam 5 dari 6 perdagangan sebelumnya. Meski demikian, analis dari bank Wells Fargo memprediksi harga emas akan kembali menguat di tahun depan, bahkan mencetak rekor tertinggi baru, sebab pasar finansial disebut sedang "mabuk" likuiditas.

Pada perdagangan hari ini, Kamis (10/12/2020), harga emas kembali melemah. Melansir data Refinitiv, pada pukul 17:32 WIB, emas berada di level US$ 1.832,8/troy ons di pasar spot, melemah 0,34%

John LaForge, kepala strategi aset riil di Wells Fargo, memprediksi pemulihan ekonomi di tahun 2021 akan cukup kuat dengan adanya vaksin virus corona. Meski demikian, ia melihat suku bunga bunga masih akan rendah dan kebijakan moneter masih longgar, sehingga perekonomian akan banjir likuiditas yang akan mendukung kenaikan harga emas.

"Pasar finansial 'mabuk' akan likuiditas dan para investor seharusnya tidak memperkirakan tahun 2021 pasar finansial akan 'sadar'. Dalam kondisi tersebut, kinerja logam mulia masih akan bagus," kata LaForge, sebagaimana dilansir Kitco.

Artinya menurut LaForge, hingga tahun depan pasar masih akan banjir likuiditas. Maklum saja, pemerintah Amerika Serikat (AS) masih akan menggelontorkan stimulus fiskal guna membantu perekonomian.

Stimulus tersebut diharapkan bisa cair di pekan ini, tetapi hingga saat ini masih belum ada tanda-tandanya. Hal itulah yang membuat harga emas pada perdagangan Rabu kemarin ambrol hingga 1,72% ke US$ 1.839,11/troy ons.

Meski demikian, cepat atau lambat stimulus tersebut pada akhirnya akan cair, sehingga perekonomian dan pasar finansial akan kembali banjir likuiditas.

Selain itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebagai pemangku kebijakan moneter, sudah mengatakan tidak akan menaikkan suku bunga < 0,25% hingga tahun 2023, dan ada peluang nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) akan ditambah. Alhasil, "mabuk" likuiditas memang masih akan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

"Masih banyak uang yang akan dicetak, dan itu bagus untuk emas dan perak," kata LaForge.

Tetapi tidak hanya stimulus moneter yang akan membawa emas kembali menguat, ia juga melihat tahun 2020 sebagai awal siklus bullish emas.

LaForge memprediksi di akhir tahun 2021, emas akan menyentuh US$ 2.100 hingga US$ 2.200/troy ons.

Stimulus fiskal serta stimulus moneter merupakan bahan bakar bagi emas untuk menanjak. Sehingga belum pastinya kapan stimulus tersebut akan cair membuat emas merosot kemarin dan hari ini setelah membukukan penguatan dalam 5 dari 6 perdagangan sebelumnya, dengan total 5,3%.

Selain itu, belum pastinya stimulus fiskal membuat bursa saham AS juga merosot kemarin, alhasil dolar AS yang selama ini tertekan kembali naik. Indeks dolar AS kemarin menguat 0,13% ke 91,087.

Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini bahkan sudah menguat 3 hari beruntun meski tipis-tipis. Total penguatan selama periode tersebut sebesar 0,43%, setelah merosot 1,2% pada pekan lalu dan menyentuh level terendah dalam 2,5 tahun terakhir.

Kenaikan indeks dolar tersebut juga menekan harga emas. Emas dibanderol dengan dolar AS, saat the greenback menguat, maka harga emas akan lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaan berisiko menurun.

Meski demikian, ke depannya dolar AS diprediksi masih akan melemah, bahkan hingga 2 tahun ke depan.

Hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya. Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.

Sementara itu, 15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.

Artinya, semua analis memprediksi dolar AS masih akan melemah, setidaknya hingga 3 bulan ke depan. Sehingga tekanan terhadap emas akan berkurang, bahkan berpeluang naik kembali.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular