Ada Proyek Hilirisasi, RI Bakal Tetap Bisa Ekspor Batu Bara

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
26 November 2020 11:32
Aktivitas bongkar muat batubara di Terminal  Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara, Senin (19/10/2020). Dalam satu kali bongkar muat ada 7300 ton  yang di angkut dari kapal tongkang yang berasal dari Sungai Puting, Banjarmasin, Kalimantan. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)  

Aktivitas dalam negeri di Pelabuhan Tanjung Priok terus berjalan meskipun pemerintan telah mengeluarkan aturan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) transisi secara ketat di DKI Jakarta untuk mempercepat penanganan wabah virus Covid-19. 

Pantauan CNBC Indonesia ada sekitar 55 truk yang hilir mudik mengangkut batubara ini dari kapal tongkang. 

Batubara yang diangkut truk akan dikirim ke berbagai daerah terutama ke Gunung Putri, Bogor. 

Ada 20 pekerja yang melakukan bongkar muat dan pengerjaannya selama 35 jam untuk memindahkan batubara ke truk. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Batu bara di Terminal Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia terus mendorong program hilirisasi batu bara, salah satunya melalui proyek gasifikasi. Meski ada proyek hilirisasi, namun Indonesia masih akan tetap bisa mengekspor batu baranya.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arviyan Arifin dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu (25/11/2020).

Melalui proyek gasifikasi, batu bara akan diproses menjadi dimethyl ether (DME) yang bisa digunakan sebagai substitusi liquefied petroleum gas (LPG), sehingga bisa menekan impor LPG.

Meski demikian, menurutnya jangan sampai hal ini diartikan salah kaprah tidak akan ada ekspor. Menurutnya, walaupun semua impor LPG saat ini diganti dengan DME, itu hanya memerlukan batu bara sekitar 30-35 juta ton per tahun. Itu dengan asumsi, untuk mengurangi impor LPG sebanyak 1 juta ton per tahun, dibutuhkan sekitar 1,4 juta ton DME per tahun.

Adapun batu bara yang dibutuhkan untuk memproduksi 1,4 juta ton DME tersebut mencapai sebesar 6 juta ton per tahun. Bila kebutuhan menekan impor LPG mencapai lima kali lipat, maka kebutuhan batu bara tersebut butuh sekitar 30-35 juta ton per tahun.

Bila proyek ini berjalan selama 30 tahun, maka artinya butuh sekitar 1 miliar ton cadangan batu bara. Di sisi lain, cadangan batu bara nasional masih ada sekitar 40 miliar ton, sehingga masih ada ruang untuk ekspor batu bara.

"Kita masih perlu pasar internasional melalui ekspor batu bara. Buat negara, ekspor ini juga penting karena itu menjadi sumber pendapatan, sumber devisa, dan juga tentunya kontribusi dari penerimaan negara bukan pajak cukup signifikan dalam neraca APBN kita," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (25/11/2020).

Lebih lanjut dia mengatakan, ada beberapa negara baru yang akan disasar menjadi negara tujuan ekspor ke depan, selain India dan China, antara lain
Laos, Vietnam, Bangladesh, Pakistan, dan Filipina.

Pertumbuhan ekonomi dari sejumlah negara tersebut akan berdampak pada peningkatan kebutuhan energi mereka dan cenderung masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai sumber energinya.

"Pasar-pasar baru ini merupakan pasar potensial buat kita, termasuk Filipina yang jadi target kita. Kalau sebagian besar mungkin mereka selama ini beli dari Australia atau Rusia. Tapi, dengan tidak beroperasinya tambang-tambang batu bara di negara maju, tentu ini peluang kita isi pasar-pasar tersebut," jelasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tiga Raksasa Batu Bara Ini Siap Garap Proyek Gasifikasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular