Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah, DPR, dan DPD RI mengusulkan sebanyak 38 rancangan undang-undang (RUU) masuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Salah satunya terdapat RUU Bank Indonesia.
Dari dokumen daftar usulan RUU Prioritas Tahun 2021 yang diterima CNBC Indonesia, Rabu (25/11/2020), dari 38 RUU sebanyak 26 RUU merupakan usulan DPR RI, 10 RUU usulan Presiden dan 2 RUU merupakan usulan dari DPD RI.
RUU Bank Indonesia merupakan usulan yang disampaikan oleh DPR. Dalam dokumen tersebut tertulis bahwa RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia ini, naskah akademik dan RUU nya akan disiapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Akhir Agustus lalu, Baleg DPR RI sudah mulai menyusun revisi dari UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini, salah satu yang akan dilakukan adalah memindahtangankan pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada BI.
Tim Ahli Baleg menyebutkan, dalam pasal 34 UU 23/1999 ditetapkan bahwa pengawasan bank berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga dalam revisi ini hal tersebut akan diubah.
"Dalam pasal 34, ada pengalihan perubahan kewenangan kekuasaan. Yang sebelumnya pengawasan bank dilakukan OJK, maka sesuai rancangan UU ini dialihkan menjadi tetap kewenangan Bank Indonesia," ujar tim ahli Baleg, Senin (31/8/2020).
Tim Ahli Baleg menyebutkan, setelah diubah maka pasal 34 ini nantinya akan menjadi pasal 31 ayat 1 yang isinya mengenai pengembalian kewenangan OJK terkait bank kepada BI. Batas waktu pengembalian maksimal 3 tahun.
"Tugas mengawasi bank yang selama ini dilakukan oleh OJK dialihkan kepada Bank Indonesia. Pengalihan tugas mengawasi bank sebagaimana dimaksud pada ayat satu dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023," kata tim ahli.
Adapun proses pengembalian kewenangan ini dilakukan secara bertahap setelah memenuhi semua persyaratan. Persyaratan yang ditetapkan mulai dari anggaran, struktur organisasi hingga berbagai peraturan pelaksana berupa perangkat hukum.
"Semua harus dilaporkan kepada DPR RI," kata tim Baleg.
NEXT>>Seruan Politisi Bubarkan OJK
Pada Juli 2020 lalu, sejumlah politisi menyuarakan keinginannya agar OJK dibubarkan. Mereka di antaranya, dari Ketua Komisi XI DPR RI, Dito Ganinduto hingga Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Dito mengatakan, membuka opsi untuk melakukan evaluasi terhadap jajaran di Bank Indonesia dan OJK. Kata dia, evaluasi kinerja BI dan OJK harus segera dilakukan, terlebih tidak ada kepastian kapan tekanan ekonomi dari pandemi Covid-19 ini akan usai.
Menurut Dito, kedua lembaga regulator sistem keuangan itu dinilai terlalu lamban dalam memitigasi tekanan ekonomi akibat COVID-19. Hal itu juga termasuk dalam alotnya kesepakatan untuk berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah.
"Ada masalah leadership (kepemimpinan), leadership yang mungkin kami perlu kaji ulang, tidak apa-apalah sudah. Kalau perlu kami kocok ulang kalau memang masih seperti ini, karena banyak sangat terdampak dengan situasi saat ini, mereka seharusnya kerja extraordinary di masa seperti ini," kata Dito kepada wartawan, Selasa (7/7/2020)
Tak lama kemudian, Bambang Soesatyo juga menyerukan hal yang serupa. Pria yang akrab dengan panggilan Bamsoet ini mendorong pembubaran OJK.
Bambang mengatakan, pembubaran OJK bisa dilakukan melalui Perppu atau perangkat kebijakan lainnya. Fungsi pengawasan dan hal lainnya yang melekat di OJK bisa dikembalikan kepada Bank Indonesia (BI).
Menurutnya, DPR RI dan pemerintah tak perlu ragu membubarkan OJK yang notabene dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011. Lebih baik mengoreksi dibanding membiarkan kesalahan berlarut dan akhirnya rakyat yang menjadi korban.
"Skandal Jiwasraya hanyalah bagian kecil dari sengkarut yang menimpa OJK. Alih-alih menjadi pengawas yang kredibel dalam menjaga uang masyarakat yang berada di perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, pergadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, OJK malah menjadi duri dalam sekam," ujar di Jakarta, Sabtu (11/7/20).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, harus diperjelas apa alasan para politisi ingin membubarkan OJK.
Apakah masalah leadership OJK yang lemah atau ada masalah kelembagaan. Apabila masalahnya adalah leadership atau kepemimpinan, solusinya adalah mengganti pemimpinnya.
"Karena tidak ada jaminan OJK dibubarkan, dikembalikan ke BI bisa lebih efektif. Jangan pakai sentimen politik lah. Keluarkan dulu kajian lengkapnya dan tawaran opsinya," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Sabtu (11/7/2020).
Bhima memandang, jika hanya sentimen politik jangka pendek, tidak akan selesai masalahnya. Bahkan tambah rumit. Bisa membuat nasabah dan investor panik. Ditambah, apabila OJK dibubarkan, biaya pembangunan lembaga baru, selain makan waktu juga mahal.
Untuk waktu saat ini, pembubaran OJK tidak tepat. Belajar dari Financial Service Authority (FSA) di Inggris, di mana mereka dikasih waktu 5 tahun pasca gagal untuk mengatasi krisis perbankan 2008.
"Baru 2013 dibubarkan dan dibuat lembaga baru. Gak bisa terburu-buru, perlu pertimbangan yang matang dari sisi makro ekonomi, market confidences dan tekanan likuiditas bank," jelas Bhima.