Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia kembali melemah lagi pada perdagangan Senin (23/11/2020) setelah anjlok nyaris 1% pada sepanjang pekan lalu. Harga emas dunia sebenarnya digadang-gadang bakal kembali terbang tinggi setelah pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), tetapi nyatanya malah melempem hingga saat ini.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 18:12 WIB, emas melemah 0,23% ke US$ 1.865,5/troy ons di pasar spot.
Sejak mencapai rekor termahal sepanjang sejarah US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus lalu, harga emas dunia seperti kehabisan "bahan bakar" untuk menguat. Stimulus moneter, dan stimulus fiskal di AS menjadi salah satu bahan bakar utama emas menguat di tahun ini.
Stimulus tersebut membuat emas menguat dari 2 sisi.
Yang pertama, stimulus moneter dan fiskal membuat jumlah uang yang beredar di perekonomian menjadi bertambah, akibatnya dolar AS melemah.
Dolar AS dan emas memiliki korelasi negatif, artinya ketika dolar AS turun maka emas cenderung naik. Hal itu terjadi karena emas dibanderol dengan dolar AS, ketika the greenback melemah, harga emas akan lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, dan permintaan berpotensi meningkat.
Yang kedua, stimulus tersebut akan memicu terjadinya inflasi. Emas secara tradisional dianggap aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga permintaannya meningkat.
Tetapi stimulus fiskal di AS jilid I dengan total nilai sekitar US$ 3 triliun sudah habis beberapa bulan lalu, dan stimulus jilid II tertahan akibat pemilihan presiden AS.
Banyak analis memprediksi emas akan rebound setelah pilpres AS selesai, sebab stimulus fiskal akan kembali digelontorkan di AS. Apalagi dengan Joseph 'Joe' Biden yang memenangi pilpres, stimulus fiskal yang digelontorkan kemungkinan akan lebih besar ketimbang petahana Donald Trump.
Memang setelah pilpres AS usai emas dunia sempat menguat lagi ke kisaran US$ 1.965/troy ons, tetapi naas, kabar vaksin dari perusahaan farmasi asal AS, Pfizer dan Moderna yang diklaim efektif menanggulangi virus corona lebih dari 90% membuat emas kembali terpukul.
Kabar tersebut menimbulkan harapan hidup akan kembali normal, roda bisnis kembali berputar, dan perekonomian global bangkit kembali. Saat itu terjadi, sentimen pelaku pasar membaik, dan kembali masuk ke aset-aset berisiko, sehingga emas yang merupakan aset safe haven menjadi kurang menarik.
Banyak analis yang hingga saat ini, masih mempertahankan proyeksi emas akan kembali menguat dan memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa ke depannya.
Tetapi, Carley Garner, founder perusahaan broker DeCarley Trading memiliki pandangan yang berbeda. Carley melihat pelemahan dolar AS sudah selesai dan emas berisiko turun ke US$ 1.500/troy ons.
"Saya pikir pelemahan dolar AS sudah mencapai dasarnya jadi penguatan emas sudah berakhir," kata Garner sebagaimana dilansir Kitco, Rabu (11/11/2020).
Garner melihat, meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, tetapi di Eropa yield sudah negatif yang membuat aliran modal akan masuk ke AS.
"The Fed diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, tetapi dengan tingkat suku bunganya saat ini (0,25%) masih lebih tinggi ketimbang Eropa dimana yield-nya negatif. Saya pikir akan banyak investasi masuk ke AS untuk membeli obligasi dan mungkin saham. Itu akan menahan penurunan dolar," tambahnya.
Menurutnya, dalam suatu waktu di tahun depan emas akan menyentuh US$ 1.500/troy ons.
"Emas perlu waktu untuk sampai disana (US$ 1.500/troy ons), tetapi pada suatu waktu di tahun depan, mungkin di kuartal I, atau mungkin di kuartal II, saat pikir saat itu," kata Garner.
Sejak mencapai level tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus lalu, harga emas mulai merosot. Sempat menguat lagi ke atas US$ US$ 2.000/troy ons pada 18 Agustus lalu, tetapi "dibanting" turun lagi.
Fakta emas terlihat kesulitan kembali ke atas US$ 2.000/troy ons membuatnya diramal memasuki fase konsolidasi, alias bergerak bolak balik dalam suatu rentang tertentu.
Sebelum mencetak rekor di tahun ini, rekor sebelumnya dicatat pada 2011 lalu. Tetapi setelahnya emas ambrol dan kesulitan kembali menguat, harganya akhirnya ambles lebih dari 45%.
Pada 6 September 2011, harga emas dunia mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920.3/troy ons.
Kabar buruknya hari itu juga emas langsung ambrol, dan terus berlanjut hingga menyentuh level US$ 1,534,49/troy ons pada 26 September, atau minus 20,09%. Setelahnya emas memang bangkit kembali tetapi tidak pernah mampu kembali ke atas US$ 1.800/troy ons.
 Grafik: Pergerakan emas tahun 2011 Foto: Refinitiv |
Pergerakan emas tersebut mirip dengan tahun ini, sejak mencapai rekor tertinggi US$ 2.072,49/troy ons, emas langsung balik merosot. 3 hari setelahnya, emas menyentuh level US$ 1.863,66, ambles lebih dari 10%.
Balik lagi ke tahun 2011, setelah gagal kembali ke atas US$ 1.800/troy ons, emas akhirnya memulai tren penurunan sejak Oktober 2012.
Dalam tren penurunan tersebut, titik terendah yang dicapai yakni US$ 1.045,85/troy ons pada 3 Desember 2015.
Artinya, jika dilihat dari rekor tertinggi hingga ke level terendah tersebut, harga emas dunia ambrol 45,54% dalam tempo 4 tahun.
Jika sejarah tersebut berulang, setidaknya pergerakan saat ini sudah sangat mirip, emas hingga saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan melesat lagi. Seandainya pergerakan tahun 2011 terulang, emas tentunya bisa ambrol lebih dalam ketimbang US$ 1.500/troy ons.
Hasil survei yang dilakukan Kitco menunjukkan, para analis melihat arah pergerakan emas masih belum jelas dalam waktu dekat.
"Saya rasa emas akan tertahan di rentang pergerakan saat ini sampai kita mendapat beberapa informasi baru. Agar emas bisa ke atas US$ 1.900/troy ons, kita perlu mendapat informasi mengenai stimulus fiskal (di Amerika Serikat), tetapi sepertinya stimulus itu bukan prioritas saat ini," kata Kevin Grady, presiden Phoenix Futures dan Options sebagaimana dilansir Kitco, Jumat (20/11/2020).
Survei mingguan dari Kitco menunjukkan, dari 17 analis di Wall Street, sebanyak 47% memprediksi emas akan menguat (bullish) di pekan ini, dan 29% memprediksi turun (bearish), sisanya memberikan proyeksi netral.
Sementara survei yang dilakukan terhadap pelaku pasar atau yang disebut Main Street, dengan jumlah partisipasi mencapai 1.539 orang, sebanyak 42% diantaranya memberikan outlook bullish, dan 39% bearish.
Para analis dalam survei tersebut melihat resisten (tahanan atas) emas ada di level US$ 1.900/troy ons, sementara support (tahanan bawah) di US$ 1,850/troy ons.
"Penguatan emas masih belum berakhir, ini hanya tertahan untuk sementara saat pelaku pasar menanti bagaimana kinerja ekonomi," kata Oleh Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank, sebagaimana dilansir Kitco.
Menurun Hansen, emas berisiko melanjutkan penurunan akibat perkembangan vaksin virus corona yang membuat pelaku pasar kembali masuk ke aset-aset berisiko. Tetapi, Hansen masih tetap bullish terhadap emas, meski tidak akan buru-buru melakukan aksi beli.
"Saya masih bullish terhadap emas, tetapi saya tidak akan buru-buru melakukan aksi beli. Ketika harga emas turun ke bawah US$ 1.850 dan menguji rerata pergerakan 200 hari, itu akan menjadi peluang beli untuk saya," kata Hansen.
 Grafik: Emas (XAU/USD) Harian Foto: Refinitiv |
Berdasarkan data Refinitiv, rerata pergerakan 200 hari (moving average/MA 200) emas pada grafik harian berada di kisaran US$ 1.800/troy ons, sementara MA 50 dan 100 berada di kisaran US$ 1.900/troy ons. Sehingga rentang pergerakan di pekan ini kemungkinan ada di antara level tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA