
Ngeri-ngeri Sedap, Alasan Bunga Bank Selangit & Males Pangkas

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan. Kini tinggal berharap perbankan bisa lebih cepat merespons dengan memangkas suku bunga simpanan dan kemudian kredit agar roda ekonomi bisa berputar lebih kencang.
Pekan lalu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI edisi November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Ini menjadi rekor terendah sejak suku bunga ini digunakan sebagai pengganti BI Rate pada 2016.
"Keputusan ini mempertimbangkan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, pekan lalu.
Ya, BI kini kembali memanfaatkan ruang pelonggaran kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Maklum, ekonomi Tanah Air sedang memasuki masa resesi setelah mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) pada kuartal II dan III tahun ini.
Akan tetapi, penurunan suku bunga acuan baru betul-betul bisa efektif menjadi sarana mendongkrak pertumbuhan ekonomi jika diikuti oleh perbankan nasional. Jika perbankan menurunkan suku bunga seagresif MH Thamrin memotong BI 7 Day Reverse Repo Rate, maka ada harapan ekonomi bisa bergairah karena sokongan suku bunga murah.
Sepanjang 2020, Gubernur Perry Warjiyo dan rekan sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 bps. Suku bunga kredit perbankan memang turun, tetapi masih jauh dibandingkan laju penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
"Kami terus dan tidak segan-segannya meminta perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit sehingga bisa mendorong pemulihan ekonomi. Sudah saatnya penyaluran kredit terus didorong, sudah saatnya kita membangun optimisme, sudah saatnya kita meningkatkan ekonomi," tegas Perry.
Agar suku bunga kredit bisa turun, suku bunga simpanan harus turun dulu. Penurunan suku bunga simpanan akan membuat biaya dana (cost of fund) bank berkurang sehingga ada ruang menurunkan suku bunga kredit.
Per Oktober, rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor sebulan adalah 5%. Turun 100 bps dibandingkan posisi awal tahun, lagi-lagi belum secepat penurunan suku bunga acuan.
Apa yang membuat bunga simpanan belum bisa turun secepat suku bunga acuan? Ada hal yang menarik di sini, agak ngeri-ngeri sedap. Sesuatu yang menjadi isu sejak dulu tetapi belum tuntas sampai sekarang.
Mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah nominal simpanan masyarakat di perbankan nasional per September 2020 adalah Rp 6.721 triliun yang tersebar di 335,6 juta rekening. Sebanyak Rp 2.780 triliun (41,4%) adalah deposito, porsinya terbesar dibandingkan jenis simpanan lain.
Berdasarkan nominal rekening, paling banyak adalah yang bernilai lebih dari Rp 5 miliar dengan total Rp 3.309 triliun atau 49,2% dari total simpanan masyarakat di perbankan. Padahal jumlah rekeningnya paling sedikit yaitu 107.977 unit, bahkan tidak sampai 0,1% dari total jumlah rekening nasabah.
Jadi hampir setengah dana simpanan di perbankan dikuasai oleh kurang dari 0,1% pemilik rekening. Mereka punya posisi yang luar biasa kuat, bisa menekan perbankan agar tidak menurunkan bunga simpanan. Selama nasabah-nasabah kakap ini masih meminta bunga deposito tinggi, maka sulit berharap bunga kredit bisa turun lebih cepat.
Faktor lain adalah efisiensi perbankan. Masih ada inefisiensi, yang membuat biaya operasional tinggi sehingga suku bunga kredit susah ditekan.
Per Agustus 2020, rasio Biaya Operasional-Pendapatan Operasional (BOPO) bank komersial di Indonesia adalah 84,97%. Naik 1,48 poin persentase dibandingkan posisi awal tahun.
Penurunan suku bunga acuan memang bisa menarik suku bunga kredit perbankan ke bawah. Namun selama isu 'penyanderaan' oleh deposan besar dan inefisiensi operasional perbakan, maka agak sulit berharap suku bunga kredit bisa turun dengan cepat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Help! Kredit Sudah Minus 5 Bulan Beruntun, Kapan Bunga Turun?