
Sentimen Cenderung Beragam, Harga SBN Kembali Terkoreksi

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pada Rabu (11/11/2020) mayoritas ditutup melemah, mengiringi aksi ambil untung yang marak di pasar modal.
Mayoritas SBN hari ini cenderung dilepas oleh investor, kecuali SBN tenor 5 tahun yang ramai dikoleksi oleh investor. Dilihat dari imbal hasilnya (yield), hampir semua SBN mengalami kenaikan yield, namun tidak untuk yield SBN tenor 5 tahun yang turun 0,3 basis poin ke level 5,390%.
Sementara itu, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara naik 1,1 basis poin ke level 6,326% pada hari ini. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Harga SBN kembali ditutup melemah mengikuti pasar saham Indonesia, yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah hampir 1% atau lebih tepatnya 0,92% akibat aksi profit taking yang tidak terbendung. Selain itu, terkoreksinya harga SBN juga diakibatkan dari sentimen yang datang cenderung beragam.
Sentimen pertama yakni masih terkait kabar baik dari vaksin virus corona (Covid-19). Vaksin virus corona dari Pfizer yang sebelumnya hadir di pasar global, kini ditambah dengan kabar vaksin lainnya, yakni Moderna yang akan menganalisis hasil uji klinis tahap ketiga-nya dalam waktu dekat.
Pakar farmasi AS, Anthony Fauci optimis uji klinis tahap akhir dari vaksin Moderna juga akan sukses seperti vaksin besutan Pfizer. Di tengah klaim suksesnya uji klinis tahap akhir kedua kandidat vaksin itu, vaksin corona asal Rusia yakni Sputnik V juga dilaporkan sukses dalam uji klinis tahap akhirnya, bahkan dengan persentase lebih besar, yakni 92%.
Selain Rusia, vaksin lainnya yang diklaim sukses adalah vaksin besutan Shanghai Fosun Pharmaceutical, di mana pihak perusahaan mengklaim hanya tinggal menunggu hasil penyetujuan dari Otoritas Kesehatan China.
Sentimen kedua, yang bisa mengurangi optimisme pelaku pasar akan membaiknya kondisi kesehatan maupun perekonomian dunia adalah terkait kenaikan infeksi di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa yang dikhawatirkan memicu karantina wilayah (lockdown) dalam waktu dekat.
AS mencetak rekor rerata kasus dalam sepekan yang mencapai 121.153 pada Selasa, setara dengan kenakan sebesar 33% dari sepekan sebelumnya. New York dan San Francisco telah mengumumkan kebijakan pembatasan ekonomi untuk meredam penyebaran.
Hal tersebut sempat memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar bahwa krisis akan meluas hingga tahun depan. "Dalam waktu dekat, kebangkitan virus mulai membuat kekhawatiran baru," kata Torsten Slok, ekonom di Apollo Global Management, kepada Bloomberg TV. "Sepertinya ini akan berakhir menjadi kurva pemulihan yang berbentuk W."
Hal senada juga diutarakan oleh Ray Attrill, ekonom dari National Australia Bank "Kepastian yang hampir mengerikan beberapa bulan ke depan untuk AS dan Eropa mengingat kasus terjangkit terkini, menjadi sentimen yang lebih dominan untuk saat ini."
Investor juga terus mengawasi perkembangan di Washington karena Trump masih menolak untuk menerima hasil hitung cepat pemilihan presiden (pilpres) AS pekan lalu dan telah memprosesnya ke jalur hukum,
Namun, Biden menganggap Trump tidak memiliki bukti pasti bahwa ada kecurangan pemilu besar-besaran. Ketegangan itu memicu kekhawatiran akan masa transisi presiden AS dan juga menyebabkan pertanyaan tentang apakah anggota parlemen AS akan dapat mendorong kelanjutan paket stimulus yang sangat dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aksi Ambil Untung di SBN Mulai Mereda, Harga SBN Menguat Lagi