Moody's Sebut Ancaman Uang Digital, Bikin Resah Bank Sentral

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
20 October 2020 17:53
FILE - This August 2010 file photo shows a sign for Moody's Corp. in New York. Moody's is expected to report financial earnings Friday, Oct. 21, 2016. (AP Photo/Mark Lennihan, File)
Foto: Moody's (AP Photo/Mark Lennihan, File)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren pembayaran digital telah meningkat di masa pandemi virus corona (Covid-19) rupanya ini menjadi perhatian bank sentral di dunia dana mulai waspada terhadap adanya ancaman jangka panjang terhadap uang tunai yang beredar. Kecenderungan ini menjadi perhatian Moody's Investors Service dan membuat tulisan khusus soal ini. 

Dalam riset Moody's disebutkan, banyak bank sentral yang mulai mencermati pengembangan uang kripto Libra. Libra adalah sistem pembayaran berbasis blockchain berizin yang dirilis dan dikembangkan oleh perusahaan aplikasi media sosial asal Amerika, yakni Facebook Inc.

Visi Libra, akan menjadi alat pembayaran digital alternatif secara global. Bentuknya seperti Bitcoin, tetapi didukung oleh mata uang utama dunia dan memiliki aset dasar berupa surat utang negara.

Namun pengembangan uang digital ini mendapat penolakan dari regulator dunia. Sebab Libra dianggap memiliki risiko sistemik yang bisa membahayakan sektor keuangan karena tidak diawasi oleh bank sentral negara manapun.

Risiko sistemiknya terlihat dari jumlah pengguna Facebook yang sudah di atas 2 miliar pada tahun lalu yang menjadi target pengguna Libra.

Hal ini mendorong bank sentral ikut berperan dengan meluncurkan proyek percontohan mengenai cara membentuk uang tunai dalam bentuk digital atau central bank digital currencies (CBDC), seperti ditulis dalam laporan Moody's.

Penggunaan uang tunai juga mulai menurun selama beberapa tahun, seperti yang dialami oleh Swedia. Bahkan, bank sentral negara tersebut telah mengatakan kekhawatirannya akan uang tunai yang kehilangan penerimaan.

Kondisi ini dapat menimbulkan konsekuensi sosial yang berbahaya bagi segmen populasi yang sampai saat ini bergantung pada mata uang bank sentral untuk pembayaran.

Atas dasar itu, beberapa bank sentral berinisiatif untuk meluncurkan CBDC, diantaranya adalah China, Inggris, Swedia, dan negara-negara kawasan Euro.

Namun, inisiatif CBDC tersebut akan memiliki konsekuensi negatif yang mendalam bagi bank umum komersial karena CBDC akan menggusur peran mereka dalam sistem pembayaran dan memaksa mereka untuk merubah model pendanaannya.

Menurut Moody's, bank sentral kini menghadapi dilema. Munculnya stablecoin seperti Libra besutan Facebook, dan kemajuan pesat platform pembayaran digital membuat bank sentral menginisiasi CBDC yang disebut-sebut sebagai strategi defensif.

Dilema muncul jika tidak beradaptasi cepat terhadap perubahan perilaku nasabah, maka peran bank sentral akan semakin memudar. Sementara jika adaptasi dilakukan dengan cepat, maka akan menimbulkan disrupsi di sistem finansial saat ini dan memberikan masalah bagi bank komersial.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Moody's: Rating RI di Baa2 untuk Penerbitan Obligasi Valas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular