Resesi Bukan Akhir Dunia, Jangan Panik! Ini Saran Profesional

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 October 2020 20:45
Infografis/ 45 Negara Resmi resesi, Ri Di Ujung Tanduk/Aristya Rahadian Krisabella
Foto: Infografis/ 45 Negara Resmi resesi, Ri Di Ujung Tanduk

Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi menjadi momok di tahun ini, tidak hanya di Indonesia, nyaris di seluruh negara di dunia ini. Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika mengalami pertumbuhan ekonomi negatif dalam 2 kuartal beruntun secara tahunan (year-on-year/YoY).

Di kuartal II-2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 5,32% YoY. Artinya jika PDB di kuartal III-2020 kembali negatif, Indonesia sah mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak tahun 1999. 

Resesi sudah sepertinya sudah pasti terjadi, tetapi seberapa dalam kontraksi ekonomi di kuartal III yang masih menjadi misteri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Selasa pekan lalu memberikan proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020. Tetapi proyeksi tersebut lebih buruk dari sebelumnya.

"Kemenkeu yang tadinya melihat ekonomi kuartal III minus 1,1% hingga positif 0,2%, dan yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9% sampai minus 1,0%. Negatif teritori pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal IV. Namun kita usahakan dekati nol," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita September, Selasa (22/9/2020).

Itu artinya, resesi sudah pasti.

Tetapi jangan panik.

Dalam siklus ekonomi resesi merupakan hal yang biasa.

Negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah mengalami resesi sebanyak 34 kali termasuk di tahun ini.

PDB AS di kuartal II-2020 lalu negatif 31,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), sementara di kuartal I-2020 mengalami kontraksi 5%. Negeri Adi Kuasa resmi mengalami resesi.

AS bahkan pernah mengalami yang lebih parah dari resesi, yakni Depresi Besar (Great Depression) atau resesi yang berlangsung selama 1 dekade, pada tahun 1930an. Tetapi pada akhirnya AS bisa bangkit mempertahankan statusnya sebagai negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.

Yang membedakan resesi kali ini adalah faktor penyebabnya, yakni pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang menimbulkan krisis kesehatan. Virus yang berasal dari kota Wuhan China ini hingga hari ini sudah menginfeksi lebih dari 35 juta orang di seluruh dunia. Presiden AS, Donald Trump, juga positif Covid-19 sejak Jumat lalu.

Guna meredam penyebarannya, pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (sosial distancing) hingga karantina (lockdown). Akibatnya roda perekonomian melambat signifikan, bahkan nyaris mati suri, resesi pun tak terhindarkan.

Namun, ketika virus corona berhasil dihentikan penyebarannya, perekonomian akan segera bangkit kembali. China menjadi contoh nyata, setelah sukses meredam penyebaran Covid-19, perekonomian pun bangkit, PDB di kuartal II-2020 tumbuh 3,2% year-on-year (YoY), sementara di kuartal sebelumnya negatif 6,8%.

Apalagi dengan perkembangan vaksin virus corona, memberikan optimisme perekonomian dunia akan bangkit di tahun depan.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan menggunakan seluruh kebijakan untuk memulihkan perekonomian dimulai dari tahun ini. Bantuan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan dimaksimalkan sehingga tahun depan bisa kembali ke tren awal.

"Kita proyeksikan di kisaran 5,0% dan tentu ini suatu pemulihan yang harus diupayakan dan jaga melalui berbagai kebijakan termasuk APBN," ujarnya melalui media briefing virtual, Selasa (29/9/2020).

"Banyak hal-hal optimis mengenai penemuan dan produksi vaksin termasuk dari Indonesia maupun kerja sama dengan internasional," kata dia.

Resesi pasti terjadi, saran yang paling penting dari financial planner adalah jangan panik.

"Saat ini adalah waktu yang tepat bagi investor untuk membuat daftar apa yang harus dilakukan, tetapi juga pastikan memiliki daftar yang tidak boleh dilakukan," kata Mitch Goldberg, presiden ClientFirst Strategy di Melville, di New York, sebagaimana dilansir CNBC International pertengahan Agustus lalu.

"Hal yang harus ada di dalam daftar yang tidak boleh dilakukan adalah jangan panik dan jangan membuat keputusan finansial dan investasi yang terburu-buru," tambahnya.

Selain itu berikut beberapa saran yang harus dilakukan saat resesi.

Memperbaiki Pribadi

Douglas Boneparth, presiden Bone Fide Wealth, sebuah perusahaan New York yang berfokus pada milenial dan profesional muda, mengatakan bahwa di waktu-waktu kekacauan ekonomi terjadi, justru harus digunakan untuk memperbaiki pribadi.

Misalnya dengan mengetahui apa saja kebutuhan dan hal-hal yang bisa dikesampingkan di masa-masa sulit, serta mensyukuri apa yang ada saat ini.

Sementara itu Diahann Lassus, finansial planner bersertifikat, co-founder, presiden dan kepala investasi di Lassus Wherley, anak perusahaan dari Peapack-Gladstone Bank, menyarankan untuk melihat kembali bagaimana pekerjaan yang dimiliki saat ini.

"Bagaimana perasaan Anda tentang pekerjaan Anda? Apakah Anda merasa aman?" katanya.

"Apa risiko dalam hidup Anda saat ini? Apakah Anda baru saja punya anak? ... Apakah Anda sehat?"

Lassaus menambahkan jika Anda tidak merasa aman dengan pekerjaan Anda, maka pastikan untuk memperbaharui resume Anda.

"Jika Anda memiliki pekerjaan yang bagus itu akan luar biasa, tetapi tetap harus memperhatikan risiko dan membuat rencana ke depannya," kata Lassaus.


Buat Perencanaan

"Ini saatnya membuat perencanaan finansial. Lihat bagaimana kondisi keuangan Anda seluruhnya dalam konteks tujuan, apa yang akan Anda lakukan untuk mencapai tujuan tersebut dan pelajari apa yang diperlukan untuk mencapainya," kata Bonepart.

Tetapi menurutnya jika masih dalam usia muda, jangan khawatir terlalu berlebihan.

"Untuk investor muda waktu ada di pihak mereka, perlu dicatat Anda harus memiliki pandangan investasi jangka panjang, yang berarti resesi, penurunan harga saham harus diperhitungkan dalam strategi Anda, " kata Boneparth.

Menabung

Menabung dan memastikan diri memiliki tabungan adalah hal penting selama masa resesi. Itu dikarenakan kejadian tak terduga seputar ekonomi bisa terjadi begitu saja di saat-saat seperti ini.

"Anda ingin memastikan Anda memiliki uang tunai yang Anda butuhkan sehingga Anda tidak perlu menjual sesuatu, seperti saham atau reksa dana Anda saat kondisi sedang buruk," kata Lassus.

"Oleh karena itu, cobalah untuk meningkatkan jumlah uang yang Anda tabung setiap bulan, jika Anda bisa."

Terkait jumlahnya, Boneparth menyarankan agar nilai tabungan mencapai tiga sampai enam kali gaji bulanan, dan bila perlu mencapai enam sampai 12 kali gaji bulanan.

"Tidak ada yang ingin mengurangi tabungan mereka untuk masa pensiun atau tabungan kuliah anak-anak mereka, tetapi terkadang mengarahkan tabungan mereka ke uang tunai atau likuiditas yang lebih besar dapat melakukan keajaiban untuk membantu Anda menavigasi pasar yang bergejolak, serta resesi," katanya.


Jangan Bergantung Pada Kartu Kredit

Lassus mengatakan, memakai kartu kredit adalah hal yang lumrah. Namun, jangan sampai jumlahnya melebihi penghasilan.

"Adakah cara agar Anda dapat menguranginya kalau-kalau perlu?" katanya. "Apakah ada hal-hal yang lepas kendali karena Anda baik-baik saja secara finansial?

"Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memeriksa semua itu dan memastikan Anda berada di tempat yang tepat." paparnya.

Resesi Bukan Akhir Dunia

Menurut Lassus, resesi bukan berarti kita melihat kesuraman dan malapetaka.

"Resesi tergantung bagaimana Anda mendefinisikannya, bisanya ini hanya pelambatan ekonomi yang mungkin berlangsung selama 3 bulan, 6 bulan, atau beberapa bulan lebih lama," katanya.

"Tapi ini bukan akhir dunia," tambah Lassus.

Menurut Lassus resesi kali ini tidak seperti tahun 2008, sebab sistem perbankan masih kuat dan perusahaan-perusahaan masih ada yang membukukan laba.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular