Bukan Pilpres AS, Ternyata Ini yang Ditunggu Pelaku Pasar RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Catatan jual bersih (net sell) investor asing masih cukup tinggi sejak Januari hingga 30 September 2020 (year to date/ytd) yakni mencapai Rp 60,17 triliun di pasar reguler.
Tekanan jual bersih asing seiring dengan angka Covid-19 yang meningkat di Tanah Air dan sentimen luar negeri perang dagang AS-China yang ramai di awal-awal tahun sebelum pandemi terjadi secara global.
Data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun masih belum pulih. Pada perdagangan Rabu kemarin (30/9/2020), IHSG ditutup minus 0,19% di posisi 4.870.
Dengan demikian, indeks acuan utama BEI tersebut sudah terkoreksi 8,32% sepanjang September, dan minus 22,69% sejak awal tahun dengan catatan jual bersih asing Rp 13,97 triliun di September dan ytd Rp 60,17 triliun.
Executive Director, Head of Indonesia Research and Strategy JPMorgan Sekuritas Indonesia Henry Wibowo, menilai salah satu sentimen yang dicermati pelaku pasar global termasuk Indonesia ialah hasil Pilpres AS yang akan digelar 3 November mendatang, antara Donald Trump dan Joe Biden.
Hanya saja, satu sentimen yang bakal dinanti-nantikan oleh pelaku pasar, baik asing maupun domestik, sebetulnya ialah kepastian Omnibus Law.
Omnibus Law adalah Undang-Undang (UU) yang disusun guna menyasar satu isu besar yang bisa mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana.
Ada tiga hal yang disasar dalam Omnibus yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM.
"Kami melihat market sedang menunggu Omnibus Law. Kalau diketok [DPR], maka akan menjadi one of the biggest policy ever sejak 1998," katanya dalam program Power Lunch, di CNBC TV Indonesia yang dipandu Muhammad Gibran, dikutip Kamis (1/10/2020).
"Target Omnibus Law [Omnibus Law Cipta Kerja] kan Mei, kemudian karena ada Covid-19 delay, maka target baru Oktober ini, market sangat menunggu apakah akan dieksekusi, dan market mencermati kontennya," kata Henry.
Dia menilai jika RUU tersebut diketok palu oleh parlemen di Senayan menjadi UU baru dan isinya sesuai dengan ekspektasi pasar, artinya diterima oleh pasar dan pelaku usaha, kondisi pasar keuangan dan pasar modal diprediksi akan bagus.
Sebaliknya, jika kontennya tak sesuai ekspektasi, ada kemungkinan pasar akan 'goyang'.
"Market akan cermati kontennya apa, kalau diketok jadi law, kalau konten ga bagus maka market sideways, ga gerak, tapi diketok dan kontennya bagus saya rasa akan menjadi katalis positif bagi market. IHSG bisa ke level 5.000-6.000 dalam 6-12 bulan ke depan jika Omnibus Law positif," katanya.
![]() Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) demo di depan Gedung DPR RI. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) |
Di sisi lain, terkait dengan Omnibus Law, khususnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Pemerintah dan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) telah menyelesaikan pembahasan tingkat II terhadap daftar inventarisasi masalah (DIM) pada Senin (28/9/2020).
Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Baidhowi mengatakan setelah DIM tingkat II diselesaikan, kemudian RUU Cipta Kerja akan dilanjutkan pada Tim Perumus (Timus). Pembahasan di tingkat Timus pun akan dilaksanakan tertutup.
Seluruh DIM selesai dibahas dalam 55 kali gelaran rapat panja atau hampir kurang lebih 5 bulan pembahasan sejak April 2020.
Di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan ada 15 bab dan 174 pasal, yang merupakan bentuk perampingan dari 79 UU dengan 1.244 pasal, dengan 11 klaster.
Ke-11 klaster tersebut yakni, penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha.
![]() Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) demo di depan Gedung DPR RI. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) |
Klaster lainnya yakni dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Jika tidak aral melintang, kemungkinan RUU Cipta Kerja bisa disahkan pada 8 Oktober 2020 mendatang di Sidang Paripurna DPR.
Beberapa hal substansial di antaranya kewenangan Pemda tidak jadi ditarik ke pusat, pembentukan tiga badan di antaranya Badan Percepatan Pembangunan Perumahan, Bank Tanah, dan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF), serta pasal tentang Pers dan Pendidikan dibatalkan dari RUU Cipta Kerja.
Terkait dengan klaster ketenagakerjaan di dalam RUU Cipta Kerja, telah selesai dibahas di tingkat II panitia kerja antara Baleg DPR dan pemerintah, dalam waktu tiga hari, yakni sejak Jumat (25/9/2020) hingga Minggu (27/9/2020).
Perlindungan bagi tenaga kerja tetap menjadi prioritas dan tidak ada yang berubah dari Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Bahkan, Baleg DPR mengklaim, pekerjaan tertentu yang tidak diatur di dalam undang-undang existing, akan diatur di dalam RUU Cipta Kerja.
Terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), yang secara substansi disepakati yakni, misalnya apabila adanya pelimpahan tugas pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain, di tengah jalan. Hal ini berkaitan dengan substansi alih daya atau outsourcing.
Mengenai pesangon juga, pemerintah dan Baleg DPR akan disetujui tetap dengan jumlah 32 kali gaji. Rinciannya adalah sebanyak 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pengusaha, dan sisanya ditanggung oleh pemerintah, melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Kemudian terkait upah minimum pekerja, pemerintah dan Baleg DPR memastikan untuk tidak memasukkan upah minimum padat karya di RUU Cipta Kerja. Namun, pemerintah dan Baleg menyepakati upah minimum harus berdasarkan pertumbuhan ekonomi di daerah dengan syarat-syarat tertentu.
[Gambas:Video CNBC]
JPMorgan: Kalau Omnibus Law Positif, IHSG Bisa Tembus 6.000!
(tas/tas)