
RI Mau Resesi, Dolar AS Coba Dekati Rp 14.800!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot hingga siang hari ini. Sentimen eksternal memang sedang kurang mendukung, tetapi faktor domestik sepertinya lebih dominan.
Pada Selasa (22/9/2020) pukul 12:51 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.750. Rupiah melemah 0,41% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sebenarnya masih menguat tipis 0,07%. Namun hanya dalam hitungan menit, rupiah langsung terperosok ke jalur merah. Bahkan depresiasi rupiah semakin dalam.
Tekanan terhadap mata uang Tanah Air semakin besar kala Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan proyeksi ekonomi terbaru. Untuk kuartal III-2020, output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diperkirakan tumbuh negatif atau terkontraksi -1% hingga -2,9%. Sementara untuk sepanjang 2020, proyeksinya berada di -0,6% sampai -1,7%.
Artinya, Indonesia akan secara sah dan meyakinkan masuk jurang resesi. Sesuatu yang kali pertama dialami sejak 1999.
Selain itu, sejumlah faktor domestik lain juga membayangi rupiah. Pertama, kebutuhan valas korporasi meningkat setiap jelang akhir kuartal karena ada kewajiban pembayaran utang, dividen, dan sebagainya. Rupiah banyak dijual untuk memperoleh valas, dan tekanan jual ini membuat mata uang Ibu Pertiwi melemah.
Kedua, sepertinya pelaku pasar masih mencemaskan dinamika hubungan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Belum lama-lama ini, rancangan amandemen Undang-undang (UU) BI usulan BI kembali beredar. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah keterlibatan pemerintah dalam penentuan kebijakan moneter.
"Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dihadiri oleh seorang atau lebih menteri di bidang perekonomian serta Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah dengan hak bicara dan hak suara," tulis pasal 43 ayat 1 RUU tersebut.
Dalam mengelola ekonomi, independensi bank sentral adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi. Bank sentral yang 'disusupi' menyebabkan kebijakan moneter menjadi tidak kredibel, penuh kepentingan (terutama politik), dan membahayakan ekonomi secara keseluruhan.
"Jika peran pemerintah dalam komite pembuat kebijakan moneter menjadi terlalu dominan, maka BI akan terjebak dalam intervensi politik. Salah satu risiko yang cukup nyata adalah penundaan penghentian kebijakan monetisasi utang untuk kebutuhan penanganan pandemi," kata Anushka Shah, Senior Analyst Moody's Investor Service, seperti dikutip dari Reuters.
