
Sri Mulyani Sukses Tenangkan Pasar, Rupiah Menguat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Sepertinya pelaku pasar mulai move on dari isu yang membelit Bank Indonesia (BI).
Pada Senin (7/9/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.700 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,27% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Selama sepekan kemarin, rupiah melemah 0,86% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari baht Thailand.
Dari dalam negeri, pelaku pasar menyoroti dinamika hubungan pemerintah dan BI. Ada dua isu, pertama adalah soal peran serta MH Thamrin dalam pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alias burden sharing yang bertahan sampai 2022. Kedua adalah wacana amandemen Undang-undang (UU) BI yang di dalamnya berisi pembentukan Dewan Moneter yang dapat mengurangi kadar independensi bank sentral karena penetapan kebijakan moneter harus dengan 'restu' pemerintah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berupaya menjernihkan situasi. Melalui konferensi pers akhir pekan lalu, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah belum membahas amandemen UU BI yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Beberapa hari terakhir banyak disampaikan revisi UU BI yang merupakan inisiatif DPR. Dapat dijelaskan bahwa sampai hari ini pemerintah belum membahas RUU inisiatif DPR tersebut. Penjelasan Bapak Presiden adalah sangat jelas, bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif dan independen," tegas Sri Mulyani.
Sedangkan dalam hal burden sharing, Sri Mulyani menjelaskan ada dua jenis pembagian beban. Pertama adalah untuk pembiayaan anggaran bersifat pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods) yang hanya berlaku tahun ini. One off, sekali pukul.
Namun ada jenis burden sharing berikutnya yaitu BI menjadi pembeli siaga (standby buyer) obligasi pemerintah di pasar perdana apabila pasar tidak bisa menyerap. Sesuai dengan UU No 2/2020, ini dilakukan hingga 2022.
"BI sebagai pembeli siaga di dalam lelang SBN (Surat Berharga Negara) itu berlangsung sampai 2022, sesuai dengan UU No 2/2020 yang menyebutkan dalam waktu kurun tiga tahun untuk pemulihan ekonomi, pemerintah bisa memiliki defisit di atas 3% (dari Produk Domestik Bruto/PDB). Sesudah 2022, maka pemerintah akan kembali melaksanakan kebijakan fiskal yang diatur dalam UU Keuangan Negara yaitu defisit maksimal 3% dan rasio utang tidak boleh melebihi 60%, dan BI tetap menjalankan fungsi moneternya secara independen," jelas Sri Mulyani.
