Pasar Obligasi Variatif, Harga SUN Tenor 10 Tahun Menguat

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
04 September 2020 19:09
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia -  Harga surat utang negara (SUN) atau obligasi pemerintah ditutup bervariasi pada perdagangan Jumat (4/9/2020). Tercatat hanya obligasi bertenor 5 dan 10 tahun yang harganya menguat. 

Data Refinitiv menunjukkan, hanya SUN berjatuh tempo 5 dan 10 tahun yang dikoleksi investor hari ini, sisanya dilepas asing. Yield (imbal hasil) SBN tenor 5 tahun turun 0,90 basis poin (bps) ke 5,571%.

Sementara itu, yield SBN (surat berharga negara) dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara mengalami penurunan 0,10 basis poin ke level 6,949%.

Pergerakan yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang naik. Demikian juga sebaliknya, ketika harga turun, maka yield naik yang menandakan sebuah risiko atas obligasi tersebut naik.

Selain kedua SBN tersebut, sisanya mengalami kenaikan yield yang didominasi oleh SBN tenor panjang. Sedangkan untuk jangka pendek hanya terjadi di SBN yang jatuh tempo 1 tahun.

Kenaikan yield tertinggi tercatat di SBN 20 tahun dengan kenaikan 1,80 basis poin ke level 7,459%. Sedangkan, kenaikan yield terendah terjadi pada SBN bertenor 1 tahun sebesar 0,10 basis poin ke 3,763%. Satu basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Pergerakan Yield SUN

Tenor

Yield (%)

Perubahan (%)

ID 1Y T-BOND

3,763

0,10

ID 5Y T-BOND

5,571

-0,90

ID 10Y T-BOND

6,949

-0,10

ID 15Y T-BOND

7,446

0,70

ID 20Y T-BOND

7,459

1,80

ID 30Y T-BOND

7,464

0,40

Data: Refinitiv

Dari dalam negeri, belum ada sentimen yang berarti bagi pasar keuangan Indonesia. Isu terkini masih berkutat terkait Revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) dan berlanjutnya program burden sharing.

Salah satu yang disoroti dalam revisi undang-undang tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.

Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.

"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International.

Selanjutnya, program burden sharing pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2022. 

Burden sharing merupakan program yang memungkinkan BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.

Ada kecemasan di pasar burden sharing akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar. Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

 


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Di Bawah Target, Lelang SUN Hari Ini Cuma Dapat Rp 24,5 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular