Ada Risiko Taper Tantrum Jilid II, Saatnya Koleksi Dolar AS?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 September 2020 19:28
Ilustrasi Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat perekonomian global merosot tajam, banyak negara masuk ke jurang resesi, termasuk Amerika Serikat (AS) sang negara Adikuasa.

Produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 lalu terkontraksi alias minus 31,7% berdasarkan data pembacaan kedua, setelah minus 5% di kuartal sebelumnya. Artinya, Amerika Serikat mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak 2008 lalu.

Guna membangkitkan lagi perekonomian, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga lainnya) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). The Fed menerapkan kebijakan ultra longgar, dan sama persis dengan yang dilakukan pada tahun 2008.

Saat itu, Amerika Serikat mengalami resesi, yang memicu krisis finansial global. Guna membangkitkan perekonomian, The Fed memangkas suku bunga hingga 0,25%, menggelontorkan QE dalam tiga tahap.

QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.

QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.
Akibatnya Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai aset (surat berharga) yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing semakin membengkak. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka balance sheet The Fed akan semakin besar.

Balance Sheet The Fed mengalami lonjakan signifikan sejak September 2008, dan terus menanjak setelahnya.

Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.

Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana untuk mengurangi (tapering) QE.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan "taper tantrum" kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan "tapering" Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Kebijakan yang diterapkan The Fed di tahun ini sama dengan periode 2008-2015, suku bunga 0,25% dan QE. Bahkan QE kali ini jauh lebih agresif dengan nilai tak terbatas dan perluasan jenis aset yang dibeli. Bank sentral paling powerful di dunia ini juga membeli obligasi korporasi dengan berbagai rating baik itu yang sifatnya investment grade hingga junk bond.

Agresifnya The Fed terlihat dari Balance Sheet yang melonjak drastis. Pada bulan Februari lalu, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, pada Juni lalu sudah mencapai US$ 7,1 triliun.

Dengan kebijakan tersebut, indeks dolar AS merosot di tahun ini, pada 1 September lalu menyentuh level 91,746 terlemah sejak April 2018. Sejak akhir tahun lalu hingga ke level tersebut indeks dolar AS melemah sekitar 5%, sementara jika dilihat dari level tertinggi tahun ini yang dicapai bulan Maret 102,99 kemerosotan tercatat sekitar 11%.

Bank investasi ternama seperti Goldman Sachs, UBS, dan Societe Generale memprediksi dolar AS masih akan turun lebih jauh. Melansir Reuters, Goldman Sachs mengatakan pemulihan ekonomi global dan suku bunga riil negatif di AS menjadi "resep pelemahan dolar AS secara berkelanjutan".

Itu artinya dolar AS menarik untuk saat ini. Tetapi seandainya perekonomian AS pulih dari kemerosotan dan The Fed merubah kebijakannya, akankah "taper tantrum" jilid II terjadi? Dolar AS bakalan terbang tinggi?

Jika melihat kebijakan The Fed dengan menggelontorkan QE tanpa batas, "taper tantrum" kemungkinan tidak akan terjadi lagi. Sebab, QE tanpa batas membuat kebijakan The Fed menjadi lebih fleksibel, nilainya tidak dipatok. Jika dibutuhkan akan digelontorkan dalam jumlah besar, tetapi jika perekonomian mulai bangkit, nilai QE akan diperkecil.

Sehingga "taper tantrum" kemungkinan tidak akan terjadi. Tapi jangan salah, jika perekonomian AS mulai bangkit The Fed tentunya akan melakukan normalisasi kebijakan dolar AS yang tertekan tentunya akan "ngamuk", apalagi jika ada indikasi suku bunga akan dinaikkan.

Jika hal itu terjadi rupiah layak waspada akan risiko gejolak lagi. Pada tahun periode 2013 hingga 2015, guna meredam gejolak rupiah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Dalam rentang waktu 8 bulan, suku bunga dinaikkan sebesar 175 basis poin dari 5,75% menjadi 7,5%.

Namun, kemungkinan normalisasi kebijakan The Fed tidak akan terjadi dalam waktu dekat, perekonomian AS masih nyungsep, dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan. Jika The Fed menaikkan suku bunga, BI kemungkinan juga akan mengimbanginya guna meredam gejolak rupiah.

Di tahun 2018 saat The Fed agresif menaikkan suku bunga, rupiah juga mengalami gejolak, BI juga ikut menaikkan suku bunga guna meredam gejolak tersebut.

Selain itu, jika perekonomian Indonesia mampu bangkit dari kemerosotan, tentunya gejolak rupiah bisa lebih diredam lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular