
Ada Risiko Taper Tantrum Jilid II, Saatnya Koleksi Dolar AS?

Kebijakan yang diterapkan The Fed di tahun ini sama dengan periode 2008-2015, suku bunga 0,25% dan QE. Bahkan QE kali ini jauh lebih agresif dengan nilai tak terbatas dan perluasan jenis aset yang dibeli. Bank sentral paling powerful di dunia ini juga membeli obligasi korporasi dengan berbagai rating baik itu yang sifatnya investment grade hingga junk bond.
Agresifnya The Fed terlihat dari Balance Sheet yang melonjak drastis. Pada bulan Februari lalu, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, pada Juni lalu sudah mencapai US$ 7,1 triliun.
Dengan kebijakan tersebut, indeks dolar AS merosot di tahun ini, pada 1 September lalu menyentuh level 91,746 terlemah sejak April 2018. Sejak akhir tahun lalu hingga ke level tersebut indeks dolar AS melemah sekitar 5%, sementara jika dilihat dari level tertinggi tahun ini yang dicapai bulan Maret 102,99 kemerosotan tercatat sekitar 11%.
Bank investasi ternama seperti Goldman Sachs, UBS, dan Societe Generale memprediksi dolar AS masih akan turun lebih jauh. Melansir Reuters, Goldman Sachs mengatakan pemulihan ekonomi global dan suku bunga riil negatif di AS menjadi "resep pelemahan dolar AS secara berkelanjutan".
Itu artinya dolar AS menarik untuk saat ini. Tetapi seandainya perekonomian AS pulih dari kemerosotan dan The Fed merubah kebijakannya, akankah "taper tantrum" jilid II terjadi? Dolar AS bakalan terbang tinggi?
Jika melihat kebijakan The Fed dengan menggelontorkan QE tanpa batas, "taper tantrum" kemungkinan tidak akan terjadi lagi. Sebab, QE tanpa batas membuat kebijakan The Fed menjadi lebih fleksibel, nilainya tidak dipatok. Jika dibutuhkan akan digelontorkan dalam jumlah besar, tetapi jika perekonomian mulai bangkit, nilai QE akan diperkecil.
Sehingga "taper tantrum" kemungkinan tidak akan terjadi. Tapi jangan salah, jika perekonomian AS mulai bangkit The Fed tentunya akan melakukan normalisasi kebijakan dolar AS yang tertekan tentunya akan "ngamuk", apalagi jika ada indikasi suku bunga akan dinaikkan.
Jika hal itu terjadi rupiah layak waspada akan risiko gejolak lagi. Pada tahun periode 2013 hingga 2015, guna meredam gejolak rupiah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Dalam rentang waktu 8 bulan, suku bunga dinaikkan sebesar 175 basis poin dari 5,75% menjadi 7,5%.
Namun, kemungkinan normalisasi kebijakan The Fed tidak akan terjadi dalam waktu dekat, perekonomian AS masih nyungsep, dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan. Jika The Fed menaikkan suku bunga, BI kemungkinan juga akan mengimbanginya guna meredam gejolak rupiah.
Di tahun 2018 saat The Fed agresif menaikkan suku bunga, rupiah juga mengalami gejolak, BI juga ikut menaikkan suku bunga guna meredam gejolak tersebut.
Selain itu, jika perekonomian Indonesia mampu bangkit dari kemerosotan, tentunya gejolak rupiah bisa lebih diredam lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]