
Gak Punya Teman! Rupiah Melemah Sendirian di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (1/9/2020), padahal semua mata uang utama Asia menguat. Indonesia yang mengalami deflasi dalam 2 bulan beruntun memberikan tekanan bagi rupiah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.530/US$, menguat 0,21%. Tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah, melemah 0,34% ke Rp 14.610/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.565/US$, melemah tipis 0,04% di pasar spot.
Meski melemah tipis bahkan nyaris stagnan, rupiah menjadi mata uang terburuk hari ini, sebab mata uang utama Asia lainnya menguat.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hingga pukul 15:06 WIB.
Rupiah sebenarnya punya modal untuk terus menguat pada hari ini, Selasa (1/9/2020), baik dari eksternal maupun internal. Terbukti begitu perdagangan dibuka rupiah langsung menguat.
Dari eksternal dolar AS kembali nyungsep merespon kebijakan terbaru dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membuat rupiah mampu perkasa lagi.
Indeks dolar AS kemarin melemah 0,25% ke 92,144. Meski pelemahan tidak terlalu besar, tetapi indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini berada di level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir tepatnya sejak 1 Mei 2018. Sore ini indeks tersebut turun 0,36% ke 91,815.
Bos The Fed, Jerome Powell, pada Kamis (27/8/2020) malam mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.
Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.
Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi, guna membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.
Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu yang lama tentunya berdampak negatif bagi dolar AS.
