
Ramai Emiten Private Placement & Rights Issue, Oke Gak Sih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini di tengah serangan pandemi virus corona yang masih belum ada kejelasan kapan akan berakhir, banyak emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami kesulitan likuiditas.
Salah satu solusi untuk masalah ini tentu saja dengan penambahan modal, maka dari itu tidak heran apabila ternyata beberapa bulan belakangan banyak emiten yang melakukan aksi korporasi untuk menambah modal baik berupa penerbitan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau biasanya lebih dikenal dengan nama rights issue atau Penambahan Modal Tanpa HMETD alias private placement.
Rights issue dan private placement merupakan aksi korporasi di mana ketika ada keinginan dari perusahaan untuk menambah modal dan sudah meminta persetujuan dari pemegang saham perusahaan tersebut akan menerbitkan saham baru.
Ketika right issue dilaksanakan, seluruh pemegang saham baik Pemegang Saham Pengendali (PSP) ataupun publik, diberikan hak untuk membeli saham baru tersebut di harga yang sudah ditentukan.
Apabila ternyata ada pemegang saham yang tidak mau mengeksekusi haknya maka akan ada standby buyer alias pembeli siaga yang siap menampung saham yang tidak dieksekusi.
Sedangkan dalam kasus private placement kesempatan untuk membeli saham baru yang diterbitkan hanya diberikan kepada entitas investor strategis yang ditunjuk oleh perseroan ataupun perseroan tersebut
Dengan diterbitkanya saham baru pascaaksi rights issue maupun private placement, tentunya pemegang saham yang tidak mengeksekusi haknya, kepemilikan sahamnya akan terdilusi.
Lantas, bagaimana sebenarnya prospek saham yang melakukan rights issue dan private placement, apakah menarik untuk dilirik? Atau malah aksi korporasi ini hanya bikin rugi pemegang saham publik karena mesti nyetor lagi duit jika tak mau sahamnya terdilusi?
Simak informasi tabel berikut ini:
Sebenarnya prospek saham tersebutuntuk jangka panjang dengan adanya aksi korporasi ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti bagaimanakah penggunaan dana yang berhasil dihimpun oleh perseroan.
Tentunya apabila rights issue atau private placement digunakan untuk melakukan ekspansi bisnis ini merupakan pertanda yang baik, seperti dalam kasus PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) yang melakukan rights issue untuk penguatan modal.
Bahkan pembeli siaga rights issue tersebut yakni Kookmin sudah siap dan berkomitmen untuk kembali melakukan private placement untuk mengambilalih Bukopin meski masih terkendala oleh pemegang saham pengendali sebelumnya yakni Bosowa.
Para investor sendiri yakin Bukopin akan lebih kinclong di tangan Kookmin mengingat status Kookmin sebagai salah satu lembaga finansial terbesar di Korea Selatan. Alhasil saham BBKP berhasil melesat 72% dari Rp 171/unit awal Agustus silam ke level saat ini Rp 294/unit, di sesi I, perdagangan Senin (31/8).
Akan tetapi apabila dana hasil penambahan modal ini digunakan untuk membayar utang, apalagi bila digunakan untuk transaksi afiliasi, ini bisa menjadi sinyal bahwa dana investor tidak digunakan dengan baik.
Dalam kasus ini, salah satu emiten yang melakukan rights issue untuk melunasi utangnya adalah PT Acset Indonusa Tbk (ACST) kepada PT United Tractors Tbk (UNTR) yang menurut prospektus rights issue adalah transaksi afiliasi dengan pemegang saham mayoritas secara tidak langsung. UNTR adalah induk usaha ACST, sementara UNTR juga anak usaha dari Grup Astra.
Kemudian, di harga berapakah right issue atau private placement tersebut dilaksanakan juga menjadi pertimbangan untung-rugi minority shareholder.
Apabila harga pelaksanaan itu jauh di atas nilai bukunya artinya sang standby buyer siap membeli perusahaan tersebut di harga premium dan memiliki komitmen untuk berinvestasi jangka panjang di perusahaan tersebut.
Akan tetapi bila harga eksekusi tersebut dilaksanakan di bawah nilai bukunya, artinya ada kemungkinan sang standby buyer hanya ingin mencari keuntungan cepat untuk menambah atau menguasai mayoritas saham perusahaan dengan cara mendilusi pemegang saham minoritas.
Pertimbangan lain, adalah, apakah harga eksekusi berada di atas atau di bawah harga pasar sebelum pelaksanaan juga tentunya berpengaruh terhadap performa harga saham perusahaan setidaknya dalam jangka pendek.
Kalau harga HMETD berada di bawah harga pasar, harga pasar biasanya akan turun ke harga eksekusi, karena dalam kasus right issue, para investor publik yang mengeksekusi haknya, biasanya langsung menjual saham tersebut untuk mengambil keuntungan dalam waktu singkat.
Apalagi jika ternyata dana hasil penambahan modal gagal dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan maka bukan tidak mungkin harga pasar akan terus tertekan turun ke bawah harga pelaksanaan corporate action tersebut.
Sementara itu apabila harga right issue jauh di atas harga pasar, biasanya investor publik tidak akan menggunakan haknya, karena tentunya kalaupun investor ingin menambah kepemilikan saham, investor lebih diuntungkan jika membeli langsung dari pasar reguler dengan harga lebih murah daripada harga eksekusi right issue.
Pada kasus ini biasanya HMETD akan ditampung oleh standby buyer.
Hmm..jadi yah tergantung investor untuk mengambil keputusan, apakah ikut menyerap haknya atau rela terdilusi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
