
Mata Uang Asia Keroyok Dolar AS, Rupiah jadi Runner Up

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Rupiah dan mayoritas mata uang utama Asia berbalik menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (27/8/2020) setelah tertekan nyaris di sepanjang perdagangan hari ini. Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell yang akan berbicara malam nanti menjadi perhatian pelaku pasar.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.600/US$, menguat 0,48% di pasar spot. Sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat bagi rupiah, dalam tempo kurang dari 60 menit, Mata Uang Garuda sudah berbalik melemah 0,2% ke Rp 14.700/US$.
Rupiah tertahan di zona merah hingga beberapa menit jelang penutupan perdagangan berbalik menguat kembali. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.650/US$, menguat 0,14% di pasar spot.
Nyaris semua mata uang utama Asia juga berbalik menguat melawan dolar AS, hingga pukul 15:10 WIB rupee India menjadi yang terbaik dengan penguatan 0,45%. Rupiah berada di posisi runner up.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia pagi tadi dibandingkan dengan sore ini.
Powell akan berbicara di acara simposium Jackson Hole, untuk pertama kalinya acara tersebut akan dilakukan secara daring akibat pandemi virus corona, biasanya dilakukan di Wyoming AS. Acara tahunan tersebut dihadiri oleh menteri keuangan, bank sentral, akademisi, hingga praktisi di dunia finansial
Powell akan berbicara mengenai "Monetary Policy Framework Review", sehingga kemungkinan besar akan berdampak signifikan terhadap dolar AS.
Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan mengubah sistem target inflasi. Selama ini inflasi ditargetkan 2% dalam jangka menengah-panjang, tetapi dalam kondisi saat ini sepertinya target tersebut menjadi kurang relevan.
"Mungkin The Fed akan mengubah target menjadi rata-rata, bukan angka pasti seperti 2%. Artinya, kemungkinan suku bunga rendah akan bertahan dalam waktu yang cukup lama," kata Raffi Boyadjian, Senior Investment Analyst di XM, seperti dikutip dari Reuters.
Dengan penyesuaian target inflasi, The Fed seakan mengakui bahwa sulit mencapai target 2%. Upaya penyesuaian membuktikan bahwa ke depan tekanan inflasi di Negeri Paman Sam masih sangat minim.
Oleh karena itu, kebutuhan untuk menaikkan suku bunga belum mendesak. Suku bunga rendah sepertinya masih akan ada untuk beberapa waktu ke depan.
Saat suku bunga rendah ditahan dalam waktu yang lama, tentunya akan berdampak negatif terhadap dolar AS.
Tetapi semua itu hanya perkiraan pelaku pasar, belum ada yang tahu pasti apa yang akan diutarakan oleh Powell, salah satu orang paling berpengaruh di pasar finansial. Seandainya Powell memberikan "kode" sampai kapan ultra-longgar (suku bunga rendah dan quantitative easing/QE) berlangsung, ada kemungkinan dolar AS malah jadi perkasa.
Dalam kondisi penantian tersebut, dolar AS menjadi lebih unggul ketimbang mata uang emerging market di Asia, termasuk rupiah, sehingga pagi tadi mata uang utama Asia mengalami tekanan.
