Bad News! Rupiah Mata Uang Asia yang Tak Diminati Investor

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 August 2020 15:18
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (19/8/2020), sekaligus menutup pekan ini, sebab pasar keuangan dalam negeri libur Tahun Baru Hijriah Kamis kemarin, dan cuti bersama hari ini, Jumat (21/8/2020). 

Melansir data Refinitiv, rupiah menguat 0,4% ke Rp 14.770/US$, dengan penguatan tersebut Mata Uang Garuda berhasil mengakhiri pelemahan 6 hari beruntun. 

Ternyata dibalik buruknya kinerja rupiah tersebut, ternyata rupiah menjadi satu-satunya mata uang utama Asia yang tidak diminati pelaku pasar.
Hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters. 

Survei tersebut menunjukkan investor masih mengambil posisi jual (short) rupiah, bahkan dalam 2 survei terakhir.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei yang dirilis pada Kamis (20/8/7/2020), menunjukkan angka 0,43 turun tipis dibandingkan hasil survei sebelumnya 0,45. Artinya investor mengurangi posisi jual (short) rupiah, tetapi masih belum mengambil posisi beli (long). 

Di sisi lain, investor sudah mengambil posisi beli (long) mata uang utama Asia lainnya, sehingga rupiah menjadi satu-satunya mata uang yang tidak diminati.

Baht Thailand pada survei  yang dirilis 23 Juli lalu masih menemani rupiah menjadi mata uang Asia yang "dibuang", tetapi posisi tersebut sudah berbalik dalam 2 rilis survei terakhir. 

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Kini investor kembali melakukan aksi 'buang' rupiah dalam 4 survei berturut-turut, meski nilainya menurun, tetapi tetap menjadi warning.

Dalam survei tersebut, alasan investor masih belum tertarik terhadap rupiah adalah Bank Indonesia (BI) yang diprediksi masih akan menurunkan suku bunga acuannya lagi di tahun ini. Kala suku bunga diturunkan, yield Surat Berharga Negara (SBN) juga akan menurun, sehingga daya tarik investasi menjadi memudar. 

Meski investor melihat suku bunga kemungkinan akan diturunkan lagi, tetapi BI saat mengumumkan kebijakan Rabu lalu justru memberikan sinyal tak lagi memangkas suku bunga.

Dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) tersebut, BI memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate 4%.
Dewan Gubernur BI yang dipimpin oleh Perry Warjiyo sebagai Gubernur menilai langkah tersebut masih konsisten untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%."

"Keputusan ini konsisten dengan perlunya menjaga stabilitas eksternal, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, termasuk dukungan Bank Indonesia kepada Pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN tahun 2020," papar Perry dalam jumpa pers usai RDG edisi Agustus 2020, Rabu (19/8/2020).

Nyaris tidak ada perubahan kebijakan yang diumumkan BI. Gubernur Perry juga kembali menegaskan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuiditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.

Rupiah berada dalam tren pelemahan sejak 9 Juni lalu, artinya sudah berlangsung dalam lebih dari 2 bulan, meski pelemahnya terbilang smooth. Salah satu penyebab rupiah terus melemah adalah pemangkasan suku bunga BI.

Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%.

Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.

Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Sejak BI memangkas suku bunga acuan pada pertengahan Juli lalu hingga hari ini rupiah sudah melemah 1,85%. Sehingga jika suku bunga kembali dipangkas, ada risiko rupiah semakin tertekan. Kala suku bunga diturunkan, daya tarik investasi juga tentunya semakin meredup.

Tetapi dalam 2 edisi RDG, Gubernur Perry memberikan sinyal BI tidak akan lagi memangkas suku bunga, dengan menegaskan untuk kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas.

Ketika suku bunga tak lagi diturunkan, maka yield obligasi Indonesia masih relatif lebih tinggi, aliran modal bisa kembali ke dalam negeri dan jadi modal, bagi rupiah untuk kembali menguat ke depannya.

Pengumuman RDG tersebut dilakukan sehari sebelum hasil survei Reuters dirilis, sehingga ada kemungkinan investor belum memasukkannya dalam penilaian terhadap rupiah. Ada harapan dalam survei berikutnya, investor sudah tertarik lagi pada rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular