Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih belum bisa lepas dari tren depresiasi. Padahal dolar AS sejatinya sedang tertatih-tatih, tetapi masih saja bisa perkasa di hadapan mata uang Tanah Air.
Pada Jumat (14/8/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.700 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya atau stagnan.
Namun tidak lama kemudian rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:10 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.730 di mana rupiah melemah 0,2%.
Sayang sekali rupiah belum juga mampu membalikkan tren depresiasi. Sebagai informasi, rupiah sudah melemah selama lima hari perdagangan beruntun. Kalau sampai tutup lapak nanti masih melemah, berarti menjadi enam hari berturut-turut.
Depresiasi rupiah terjadi saat dolar AS sedang lesu. Pada pukul 07:39 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,07%.
Dalam sebulan terakhir, Dollar Index anjlok nyaris 3%. Bahkan selama tiga bulan ke belakang, penurunannya mencapai lebih dari 7%.
Lagi-lagi investor kecewa karena pembahasan stimulus yang mandek. Belum ada titik temu antara Partai Republik dan Partai Demokrat seputar paket stimulus fiskal baru. "Chuck Schumer dan Nancy Pelosi (pemimpin Demokrat di Senat dan House of Representatives) menyandera rakyat AS demi agenda sayap kiri mereka. Stimulus ini tidak akan terwujud karena mereka bahkan tidak mau membahasnya, dan karena kami juga tidak mau memberi hal-hal yang mereka inginkan yang tidak ada hubungannya dengan virus China (Coronavirus Disease-2019/Covid-19)," tegas Presiden AS Donald Trump, sebagaimana diberitakan Reuters.
Tanpa stimulus fiskal, sulit berharap ekonomi Negeri Paman Sam bisa pulih dengan cepat. Memang benar jumlah klaim tunjangan pengangguran turun, pada pekan yang berakhir 8 Agustus tercatat 963.000, kali pertama berada di bawah 1 juta sejak awal pandemi virus corona.
"Namun terlalu awal untuk mengumumkan kemenangan, karena perjalanan masih panjang. Pasar tenaga kerja masih berdarah-darah. Salah satu hal yang membuat klaim tunjangan pengangguran turun adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah, dan itu sekarang tidak ada lagi," tegas Chris Rupkey, Kepala Ekonom MUFG yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Namun mengapa rupiah masih saja lemah? Sepertinya faktor domestik yang membuat rupiah terbeban.
Hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 kepada parlemen. Investor tentu ingin mengetahui bagaimana arah kebijakan fiskal tahun depan. Apakah masih ekspansif seperti 2020, atau mulai ada konsolidasi?
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) yang menjadi kerangka penyusunan RAPBN 2021, pemerintah mengindikasikan defisit anggaran akan ada di 5,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih rendah ketimbang perkiraan tahun ini yang mencapai 6,34% PDB.
Jadi walau tema besar RAPBN 2021 masih seputar pemulihan ekonomi dari dampak pandemi virus corona, tetapi kemungkinan skalanya tidak semasif 2020. Ini akan mempengaruhi seberapa besar dukungan pemerintah terhadap sektor riil dan rumah tangga hingga penerbitan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN).
Sembari menunggu kepastian soal postur kebijakan fiskal 2021, investor memilih menonton dari pinggir lapangan. Pelaku pasar belum bersedia turun gelanggang sampai ada kejelasan.
Sikap wait and see ini membuat rupiah kekurangan tenaga karena arus modal masuk yang terbatas. Hasilnya jelas, rupiah kembali menapaki jalur merah.
Kemudian, Gubernur Anies Rasyid Baswedan mengumumkan perpanjangan PSBB Transisi selama dua pekan lagi. Sampai 27 Agustus, 'keran' kegiatan masyarakat belum bisa dibuka penuh. Pengunjung perkantoran, restoran, sampai pusat perbelanjaan masih dibatasi maksimal 50%.
"Gubernur @aniesbaswedan juga menegaskan setiap aktivitas sosial yang menyebabkan kerumunan akan dihentikan sementara, khususnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day (CFD). Adapun pada momen peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang, agar setiap kegiatan perayaan khususnya perlombaan ditiadakan di DKI Jakarta," demikian dikutip dari laman Instagram Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Jika reopening aktivitas publik belum bisa lebih lebar lagi, maka aktivitas ekonomi di Jakarta masih relatif terbatas. Sementara Jakarta adalah kontributor utama dalam perekonomian nasional. Jadi kalau denyut nadi ekonomi Jakarta masih pelan, maka akan mempengaruhi seluruh Indonesia Raya.
 Badan Pusat Statistik DKI Jakarta |
Artinya, prospek ekonomi Indonesia masih akan diliputi ketidakpastian. Sampai kuartal II-2020 Indonesia memang masih bisa menghindari resesi. Namun kalau aktivitas warga terus-menerus terbatas, maka bukan mustahil Indonesia bakal masuk kurang resesi karena kontraksi ekonomi pada kuartal III-2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA