Emas Tak Selalu Jadi "Bungker" Saat Resesi, Ini Buktinya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 August 2020 18:38
emas
Foto: REUTERS/Issei Kato

Seperti dijelaskan sebelumnya, resesi bahkan krisis yang terjadi di Asia pada 1998 tidak berdampak pada penguatan harga emas. Sebabnya, krisis tersebut tidak meluas, bahkan beberapa negara di Asia juga tidak terdampak, atau dampaknya minim.

Beda halnya jika Amerika Serikat, Sang Raksasa ekonomi dunia yang mengalami krisis. Seluruh dunia jadi kena dampaknya. Selain itu, faktor utama melesatnya harga emas dunia adalah kebijakan moneter yang diterapkan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), dan bank sentral negara-negara maju lainnya.

Kebijakan The Fed di tahun 2008 sama dengan yang diterapkan saat ini, suku bunga 0,25% dan program pembelian aset (obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya) atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE).

12 tahun lalu saat terjadi krisis finansial global, guna membangkitkan perekonomian saat itu bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR). Total dalam waktu 2 tahun, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke memangkas FFR sebesar 500 basis poin atau 5%, dari sebelumnya di awal 2007 sebesar 5,25% menjadi < 0,25% di akhir tahun 2008. Suku bunga nyaris 0% tersebut bertahan hingga 7 tahun, hingga akhirnya dinaikkan pada Desember 2015.

The Fed menerapkan kebijakan QE dalam tiga tahap, QE1 dimulai November 2008, kemudian QE2 dimulai pada Juni 2011, dan Q3 yang dimulai pada September 2012, dengan jumlahnya pembelian aset yang terus meningkat

Tidak hanya The Fed, banyak bank sentral utama dunia juga melakukan hal yang sama, suku bunga rendah dan QE yang membuat pasar banjir likuiditas, dan rally panjang kenaikan harga emas pun dimulai hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,3/troy ons. Kini, nyaris 10 tahun setelahnya, emas kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Jika di tahun 2008 krisis dipicu oleh subprime mortgage di AS, tahun ini dipicu oleh virus corona.

Sang raksasa ekonomi Amerika Serikat pun resmi mengalami resesi lagi di kuartal II-2020.

Sekali lagi, guna membangkitkan perekonomian, The Fed di tahun ini membabat habis suku menjadi <0,25% di tahun ini, dibandingkan akhir tahun lalu sebesar 1,75%. Selain itu, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell juga mengaktifkan kembali program QE yang sudah dihentikan pada Oktober 2014 lalu.

Bahkan, QE The Fed kali ini nilainya tak terbatas, artinya seberapun akan dikucurkan selama dibutuhkan untuk membangkitkan perekonomian. Sementara pada 2008 hingga 2014, nilai QE The Fed dipatok setiap bulannya.

Besarnya QE The Fed bisa terlihat dari Balance sheet yang menunjukkan nilai aset (surat berharga) yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing.

Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka balance sheet The Fed akan semakin besar. Di akhir 2014, saat QE resmi dihentikan, nilai Balance Sheet The Fed mencapai US$ 4,5 triliun. Setelah tahun 2014, Balance Sheet The Fed terus menurun, akibat kebijakan normalisasi yang dilakukan.

Di tahun ini, ketika QE kembali diaktifkan, nilai Balance Sheet The Fed langsung melonjak, per Juni 2020 sudah mencapai US$ 7,14 triliun, dan kemungkinan masih akan terus meningkat.

Itu baru The Fed, belum lagi bank sentral lainnya yang juga menerapkan QE dengan jumlah besar, bahkan beberapa bank sentral, seperti bank sentral Australia baru pertama kali menerapkan QE.

Belum lagi gelontoran stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah di berbagai negara, sebut saja AS dengan stimulus fiskal jumlah US$ 2 triliun, dan mungkin akan ditambah lagi.

Semua kebijakan tersebut memicu banjir likuiditas, yang menjadi salah satu "bahan bakar" emas melesat hingga mencapai rekor tertinggi di pertengahan tahun ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular