Newsletter

Trump Mau Jadi Juru Selamat AS, Bagaimana Reaksi Pasar?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 August 2020 06:03
Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hawa resesi memang sangat terasa menggelayuti perekonomian RI setelah angka keramat berupa pertumbuhan PDB pekan kemarin. Nilai tukar rupiah dan IHSG kompak melemah. Hanya obligasi rupiah pemerintah saja yang mengalami kenaikan harga. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan output perekonomian Tanah Air mengalami kontraksi sebesar -5,32% (yoy). Jauh lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia di -4,53% (yoy).

Rilis angka keramat ini seolah semakin mengukuhkan jika ekonomi RI memang berada di ambang resesi. Aset-aset keuangan dalam negeri pun mulai dilepas oleh investor.

Mulai dari saham, IHSG terperosok 0,11% sepekan lalu. Kendati tak terlalu signifikan, tetapi investor asing masih melepas kepemilikannya terhadap aset ekuitas dalam negeri. Hal ini terbukti dari nilai jual bersih (net sell) asing yang mencapai Rp 3,3 triliun seminggu terakhir. 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) memang masih jadi ancaman terbesar bagi perekonomian dan pasar keuangan domestik. Namun di sisi lain dengan berpartisipasinya Bio Farma dalam perlombaan pengembangan vaksin virus corona membuat saham-saham emiten farmasi pelat merah bergerak liar. 

Saham PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indo Farma Tbk (INAF) meroket lebih dari 30% minggu kemarin. Rencana Bio Farma untuk menggaet kedua perusahaan BUMN ini telah membuat harga sahamnya meroket. 

Secara year to date, kedua saham tersebut bahkan sudah mengalami kenaikan harga hingga lebih dari 100%. Lonjakan harga saham yang signifikan ini akhirnya membuat otoritas bursa menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham dua emiten farmasi yang tengah 'naik daun' itu. 

Beralih ke nilai tukar rupiah, nasib mata uang RI ini jauh lebih apes dari IHSG. Dalam sepekan nilai tukar rupiah melemah 0,34% terhadap dolar AS. Rupiah kini dibanderol di Rp 14.580/US$ pada penutupan pasar spot Jumat (7/7/2020).

Koreksi tersebut membuat rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan Benua Kuning yang kemudian disusul oleh dolar Taiwan yang melemah 0,29% di hadapan dolar greenback.

Kinerja rupiah yang buruk tak terlepas dari sentimen negatif dan outlook perekonomian RI yang tertekan hebat akibat pandemi. Hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan sentimen pelaku pasar masih belum bagus terhadap rupiah. 

Lebih sedih lagi, hanya rupiah yang masih "dibuang" pelaku pasar dibandingkan mata uang Asia lainnya. Survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan investor masih mengambil posisi jual (short) rupiah.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei yang dirilis pada Kamis (6/8/2020), menunjukkan angka 0,45 turun dibandingkan hasil survei sebelumnya 0,61. Artinya investor mengurangi posisi jual (short) rupiah, setelah mengalami kenaikan dalam 2 survei sebelumnya.

Pada akhirnya kenaikan cadangan devisa ke level tertinggi sepanjang masa di US$ 135 miliar akibat penerbitan Samurai Bond, hingga surplus neraca dagang pada Mei dan Juni pun tak mampu membuat rupiah bergairah.

Berbeda dengan rupiah dan IHSG, harga obligasi Indonesia justru mencatatkan penguatan tipis. Hal ini tercermin dari penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 3,8 basis poin (bps) menjadi 6,787%.

Sebenarnya tanda-tanda perbaikan ekonomi RI mulai terlihat dari berbagai indikator. Paling baru adalah penjualan motor. Di akhir kuartal kedua, AISI mencatatkan kenaikan penjualan kendaraan roda dua sebesar 669% (mom).

Meski secara tahunan masih ada penurunan 80% tetapi kenaikan penjualan ini tetap mencerminkan roda ekonomi yang mulai berputar kembali. Hal yang sama juga dialami oleh pasar kendaraan roda empat. GAIKINDO melaporkan penjualan mobil penumpang mengalami kenaikan sebesar 244% (mom).

Hanya saja membaiknya aktivitas ekonomi RI juga harus dibarengi dengan lonjakan kasus infeksi baru Covid-19 yang agaknya mulai terbiasa di atas 2.000 kasus per hari. Lonjakan kasus baru yang signifikan juga tercatat di ibu kota. 

Tentu saja ini jadi sentimen negatif di pasar keuangan dan membuat risk appetite investor kembali menurun. Pasalnya jika kasus tak kunjung mereda maka prospek perekonomian RI ke depan juga masih berpotensi tertekan.

Beralih ke barat, tanda-tanda membaiknya aktivitas ekonomi AS juga mendorong penguatan kinerja saham-saham di Bursa New York. Pekan lalu tiga indeks utama saham Paman Sam mencatatkan kinerja yang apik. 

Indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial bahkan menguat di lima hari perdagangan secara beruntun. Dalam sepekan kedua indeks ini telah mencatatkan apresiasi masing-masing sebesar 2,45% dan 3,8%. 

Sementara itu untuk indeks saham Nasdaq Composite yang terkenal tech heavy alias banyak dihuni oleh perusahaan teknologi AS gagal menguat lima hari beruntun. Namun tetap saja kinerjanya sepekan masih bagus mengekor dua indeks lainnya dengan penguatan sebesar 2,47%.

Data ekonomi AS terutama di sektor tenaga kerja yang bagus membuat pasar keuangan sumringah. Kabar gembira ini pun membuat indeks dolar yang awalnya terpuruk di level terendah dalam dua tahun akhirnya mencoba bangkit. 

Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (7/8/2020) melaporkan tingkat pengangguran di bulan Juli turun tajam menjadi 10,2% dari sebelumnya 11,1%.

Selain itu, sepanjang bulan lalu, perekonomian AS kembali menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian, yang dikenal dengan istilah non-farm payrolls, sebanyak 1,763 juta orang, lebih banyak ketimbang prediksi di Forex Factory sebesar 1,53 juta.

Tidak hanya itu, rata-rata gaji per jam juga mengalami kenaikan 0,2% di bulan Juli setelah menurun dalam 2 bulan beruntun. Kembali naiknya rata-rata gaji berpeluang meningkatkan belanja konsumen atau belanja rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian AS. Belanja rumah tangga berkontribusi sekitar 70% terhadap PDB AS.

Pada kuartal kedua tahun ini, PDB AS menyusut secara signifikan akibat merebaknya pandemi di negeri adikuasa itu. Output turun hingga 32,9% secara kuartalan. Bukan turun lagi, tetapi nyungsep.

Penyebabnya apalagi kalau bukan lockdown. Pembatasan yang masif ini membuat ekonomi Paman Sam seolah mati suri. Namun rebound ekonomi AS ini juga masih dibayangi dengan adanya risiko yang datang dari lonjakan kasus Covid-19 di AS. 

Memasuki perdagangan awal pekan ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang bakal jadi penggerak harga aset-aset keuangan. Pertama tentu terkait perkembangan pandemi Covid-19 baik di dalam maupun luar negeri. 

Secara global jumlah kasus infeksi Covid-19 secara kumulatif sudah mendekati angka 20 juta. Angka kematian yang tercatat lebih dari 727 ribu jiwa. 

Di AS lonjakan kasus yang masih tinggi membuat total penderita penyakit yang menyerang sistem pernapasan tersebut mencapai 5 juta orang. Lebih dari 162 ribu orang terenggut nyawanya. 

Sementara itu di dalam negeri, total penderita Covid-19 secara kumulatif mencapai 125.396. Di kawasan Asia Tenggara, RI berada di peringkat kedua setelah Filipina dengan total kasus mencapai 129.913. 

Kenaikan kasus di Tanah Air yang cenderung meningkat ke kisaran angka 2.000 kasus per hari dikhawatirkan membuat pembatasan akan diperketat seperti halnya Filipina yang melakukan lockdown lagi untuk Metro Manila. 

Kasus di DKI Jakarta juga cenderung terus mencetak rekor. Tambahan kasus per harinya nyaris mencapai angka 700. Melihat realita ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk memperpanjang periode PSBB transisi hingga 13 Agustus nanti.

Selain itu, penerapan ganjil genap di 25 ruas jalan sebagai kebijakan rem darurat (emergency brake) juga diambil oleh pemerintah provinsi. Kasus yang naik di DKI Jakarta memang mengkhawatirkan. Pasalnya DKI Jakarta merupakan pusat perekonomian Tanah Air dan memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB RI.

Sentimen kedua yang perlu dicermati pada perdagangan hari ini adalah kisruh Washington-Beijing. Makin ke sini, Uncle Trump sebagai nahkoda Paman Sam kian beringas membombardir China dengan serangan dari segala sisi. 

Seperti yang diketahui, Trump berusaha untuk menyingkirkan perusahaan teknologi asal China yakni TikTiok dan WeChat. Dalihnya adalah untuk melindungi AS karena data masyarakatnya bisa jatuh ke pihak yang salah, dalam hal ini adalah Partai Komunis China. 

Tak berhenti sampai di situ, pemerintahan mantan taipan properti AS itu juga menjatuhkan sanksi ekonomi kepada 11 pejabat saat ini dan mantan pejabat China. Salah satunya adalah Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam.

Lam diberi sanksi karena mendukung pemberlakukan UU Keamanan Nasional Hong Kong. UU ini disahkan China bulan Juni, yang akan menghukum sejumlah pihak yang dikategorikan sebagai penganggu stabilitas Hong Kong.

Di bawah sanksi ekonomi ini, aset Lam di AS akan diblokir dan orang Amerika serta bisnis dilarang berurusan dengan mereka. Ini dinyatakan AS dalam pengumuman resmi Departemen Keuangan.

"Tindakan hari ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa tindakan otoritas Hong Kong tidak dapat diterima," kata Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan ditulis AFP, Sabtu (8/8/2020).

Jelas konflik duo raksasa ekonomi global ini semakin melebar. Eskalasi perseteruan keduanya semakin memperburuk situasi saat ini ketika ekonomi global dirundung nestapa dan harus jatuh ke jurang resesi yang sangat parah sejak depresi hebat 1930.

 

Namun di tengah gempuran sentimen negatif yang ada, terselip kabar yang cukup menggembirakan. Kali ini masih berasal dari AS di mana Donald Trump menandatangani empat perintah eksekutif pada Sabtu (8/8/2020) waktu setempat atau Minggu (9/8/2020) WIB.

Salah satu dari empat perintah eksekutif itu berisi bantuan langsung kepada pengangguran senilai US$ 400 per pekan. Langkah Trump ini dilakukan setelah Gedung Putih dan Partai Demokrat gagal mencapai kesepakatan terkait stimulus bantuan Covid-19 pekan ini.

Tiga perintah eksekutif lainnya adalah tax holiday bagi warga AS berpenghasilan kurang dari US$ 100.000 per tahun, bantuan untuk penyewa dan pemilik rumah serta penangguhan pembayaran student loan atau pinjaman pelajar di level universitas.

"Kami ingin melindungi masyarakat AS," ujar Trump dalam keterangan pers dari klub golfnya di Bedminster, New Jersey, seperti dilaporkan CNN International.

Bantuan senilai US$ 400 per pekan tersebut tentunya akan meningkatkan daya beli warga AS, yang lagi-lagi berpotensi memberikan dampak signifikan ke PDB.

Sehingga harapan akan kebangkitan ekonomi AS kembali muncul. Saat negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia ini bangkit, ekonomi negara-negara lainnya juga diharapkan bakal terkerek naik.

Kabar positif selanjutnya masih seputar pengembangan vaksin untuk virus corona jenis baru yang jadi biang kerok pandemi global saat ini. Bank investasi global Goldman Sachs menilai bahwa saat ini pasar masih terlalu skeptis dengan potensi penangkal virus ganas itu bisa tersedia tahun depan. 

Goldman mengutip revisi proyeksi firma konsultan Good Judgment. Awalnya pada Juni lalu Good Judgement menilai potensi vaksin tersedia secara luas pada akhir Maret 2021 berada di angka 10%. Namun kini, potensinya naik menjadi hampir 40%.

Goldman mengatakan pada hari Rabu bahwa pihaknya setuju dengan temuan tersebut. Goldman pun mengatakan kepada klien ada peluang bagus bahwa setidaknya satu vaksin akan disetujui FDA pada akhir November dan didistribusikan secara luas pada pertengahan 2021. 

Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Rlis data inflasi China bulan Juli 2020 (08.30 WIB)

2. Rilis data indeks harga produsen China bulan Juli 2020 (08.30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY)-5,32%
Inflasi (Juli 2020 YoY)1,54%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020)4%
Defisit anggaran (APBN 2020)-6,34% PDB
Transaksi berjalan (kuartal I-2020)-1,42% PDB
Neraca pembayaran (kuartal I-2020)-US$ 8,54 miliar
Cadangan devisa (Juli 2020)US$ 135,1 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular