
Gerbang Resesi RI Sudah Terbuka, tapi Rupiah Tetap Perkasa

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah masih bertahan di zona hijau melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Rabu (5/8/2020). Padahal, data menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia nyungsep di kuartal II-2020.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.520/US$ menguat 0,21% di pasar spot. Apresiasi rupiah bertambah besar hingga 0,38% ke Rp 14.495/US$, yang menjadi level terkuat intraday. Pada pukul 12:00 WIB, penguatan rupiah terpangkas dan kembali berada di level Rp 14.520/US$.
Pintu gerbang Indonesia menuju resesi telah terbuka. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka output perekonomian atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode kuartal II-2020. Seperti yang sudah diduga, terjadi kontraksi alias pertumbuhan negatif.
Kepala BPS, Suhariyanto, menyebutkan PDB Indonesia periode April-Juni 2020 terkontraksi -5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY).
"Terjadi kontraksi dalam, PDB Q1 kita sudah turun dalam meski year-on-year masih positif. Dan PDB kuartal II kontraksi negatif 5,32% (year-on-year)," kata Suhariyanto.
PDB tersebut merupakan yang terburuk sejak kuartal I-1999.
Sementara dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/QtQ), PDB kuartal II-2020 ini mengalami kontraksi -4,19%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi Tanah Air terkontraksi -4,53% YoY dan -2,89% QtQ. Untuk keseluruhan 2020
Untuk diketahui, suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika PDB tumbuh negatif 2 kuartal beruntun secara YoY, sementara jika negatif 2 kuartal beruntun secara QtQ disebut sebagai resesi teknikal.
PDB -5,32% YoY di kuartal II-2020, menjadi gerbang menuju gerbang resesi, dan jika PDB kembali negatif di kuartal III-2020, maka Indonesia akan resmi memasuki resesi.
Meski demikian, rupiah masih tetap perkasa melawan dolar AS. PBD negatif di kuartal II-2020 sepertinya sudah diantisipasi oleh pelaku pasar. Di sisi lain, kondisi dolar AS juga kurang bagus.
Jika Indonesia terancam resesi, Amerika Serikat sudah mengalaminya. Kamis (30/7/2020) pekan lalu, PDB AS kuartal II-2020 dilaporkan mengalami kontraksi 32,9%. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS.
Di kuartal I-2020, perekonomiannya mengalami kontraksi 5%, sehingga sah mengalami resesi.
Bukan hanya resesi yang membuat dolar AS kurang tenaga, pemulihan ekonomi yang terancam sangat lambat akibat kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang terus menanjak di AS.
Apalagi stimulus berupa bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar US$ 600/pekan sudah habis masa berlakunya pada akhir pekan lalu. Paket stimulus selanjutnya masih belum ada kejelasan.
Partai Republik di House of Representatives (salah satu dari dua kamar parlemen di AS) mengajukan proposal stimulus senilai US$ 1 triliun. Namun hingga saat ini belum ada kata sepakat. Bahkan terjadi penolakan di internal Republik sendiri, karena total stimulus yang mencapai US$ 3 triliun dinilai sudah terlalu banyak.
"Kegagalan mencapai kesepakatan paket stimulus telah menekan dolar AS. Jadi, jika mereka (Kongres AS) dalam beberapa hari ke depan, maka dolar AS akan rebound. Tapi, saya pikir dolar AS masih akan lemah di sisa tahun ini" kata Imre Speizer, analis mata uang di Westpac Auckland, sebagaimana dilansir CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
