Kisah Kilau Emas: Rekor Tertinggi 2011 hingga Pecah di 2020

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 July 2020 13:07
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia terbang pada perdagangan Senin (27/7/2020) hingga mematahkan rekor tertinggi sepanjang masa yang dicetak pada tahun 2011 lalu. Kondisi pasar keuangan global saat ini mirip dengan 12 tahun lalu yang membuat harga emas akhirnya kembali mencetak rekor.

Berdasarkan data Refinitiv, emas pada pagi ini melesat 2,26%% ke US$ 1.943,92/troy ons, yang mematahkan rekor tertinggi sepanjang masa sebelumnya US$ 1.920,3/troy ons yang dicetak nyaris 10 tahun yang lalu, tepatnya pada 6 September 2011.

Butuh waktu sangat lama bagi emas untuk kembali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa, bahkan harga emas sempat ambrol, menyentuh level US$ 1.045,85/troy ons pada 3 Desember 2015. Level tersebut merupakan yang terendah sejak Februari 2010.

Jika dilihat sejak rekor tertinggi 2011 level terendah di 2015 tersebut, harga logam mulia ini ambrol 45,54%. Sejak saat itu, emas bergerak berfluktuasi, dan baru ngegas lagi sejak tahun lalu hingga mencetak rekor tertinggi hari ini.

Sepanjang 2019, emas melesat 18,26%, dan sepanjang tahun 2020 hingga ke rekor terbang 28,14%.

Flashback ke belakangan, 12 tahun lalu perekonomian global mengalami krisis finansial. Amerika Serikat menjadi episentrum krisis, yang diawali dengan kredit macet di sektor properti (subprime mortgage), dan menimbulkan efek domino yang menyebabkan kebangkrutan pada beberapa lembaga keuangan, seperti Lehman Brothers.

Amerika Serikat akhirnya mengalami resesi yang berlangsung selama 4 kuartal. Kontraksi ekonomi AS dimulai pada kuartal III-2008, dan baru berhasil tumbuh satu tahun berselang.

Guna membangkitkan perekonomian saat itu bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR). Total dalam waktu 2 tahun, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke memangkas FFR sebesar 500 basis poin atau 5%, dari sebelumnya di awal 2007 sebesar 5,25% menjadi < 0,25% di akhir tahun 2008. Suku bunga nyaris 0% tersebut bertahan hingga 7 tahun, hingga akhirnya dinaikkan pada Desember 2015.

Selain itu, The Fed juga menerapkan kebijakan moneter tidak biasa (unconventional) yakni program pembelian aset (obligasi dan surat berharga lainnya) atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE).

The Fed menerapkan kebijakan QE dalam tiga tahap, QE1 dimulai November 2008, kemudian QE2 dimulai pada Juni 2011, dan Q3 yang dimulai pada September 2012, dengan jumlahnya pembelian aset yang terus meningkat

Tidak hanya The Fed, banyak bank sentral utama dunia juga melakukan hal yang sama, suku bunga rendah dan QE yang membuat pasar banjir likuiditas, dan rally panjang kenaikan harga emas pun dimulai hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,3/troy ons. Kini, nyaris 10 tahun setelahnya, emas kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Seperti disebutkan sebelumnya, emas mulai ngegas lagi sejak tahun lalu, kala perekonmian global melambat akibat perang dagang AS-China. Bahkan isu resesi sebenarnya sudah muncul sejak tahun lalu.

Kondisi perekonomian dan pasar finansial global saat ini sangat mirip dengan tahun 2008, resesi, suku bunga rendah, serta QE. Yang berbeda, tahun ini disebabkan oleh virus corona sementara 12 tahun lalu oleh subprime mortgage.

Virus corona yang berasal dari kota Wuhan provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut telah menyebar ke seluruh dunia dan menjadi pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret lalu. Penyakit yang ditimbulkan oleh virus corona ini diberi nama Corona virus disease 2019 (Covid-19).
Berdasarkan data Worldometer, hingga saat ini lebih dari 200 negara dan wilayah sudah terjangkit virus corona, menjangkiti lebih dari 16,4 juta orang, dengan lebih dari 650 ribu orang meninggal dunia.

Guna meredam penyebaran virus corona, pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan social distancing hingga karantina wilayah (lockdown). Dampaknya roda bisnis menurun drastis, perekonomian global menuju jurang resesi. Jepang, negara maju pertama yang mengalami resesi, dua pekan lalu Singapura, di pekan ini AS, sang negeri adikuasa, akan "disahkan" mengalami resesi.

Resesi tersebut tentunya mengingatkan kembali pada tahun 2008, yang menjadi awal mula rally panjang harga emas.

Sekali lagi, guna membangkitkan perekonomian, The Fed di tahun ini membabat habis suku menjadi <0,25% di tahun ini, dibandingkan akhir tahun lalu sebesar 1,75%. Selain itu, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell juga mengaktifkan kembali program QE yang sudah dihentikan pada Oktober 2014 lalu.

Bahkan, QE The Fed kali ini nilainya tak terbatas, artinya seberapun akan dikucurkan selama dibutuhkan untuk membangkitkan perekonomian. Sementara pada 2008 hingga 2014, nilai QE The Fed dipatok setiap bulannya.

Besarnya QE The Fed bisa terlihat dari Balance sheet yang menunjukkan nilai aset (surat berharga) yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing.
Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka balance sheet The Fed akan semakin besar. Di akhir 2014, saat QE resmi dihentikan, nilai Balance Sheet The Fed mencapai US$ 4,5 triliun. Setelah tahun 2014, Balance Sheet The Fed terus menurun, akibat kebijakan normalisasi yang dilakukan.

Di tahun ini, ketika QE kembali diaktifkan, nilainya Saat ini, balance sheet The Fed langsung melonjak, per Juni 2020 sudah mencapai US$ 7,14 triliun, dan kemungkinan masih akan terus meningkat.

Itu baru The Fed, belum lagi bank sentral lainnya yang juga menerapkan QE dengan jumlah besar, bahkan beberapa bank sentral, seperti bank sentral Australia baru pertama kali menerapkan QE.

Belum lagi gelontoran stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah di berbagai negara, sebut saja AS dengan stimulus fiskal jumlah US$ 2 triliun, dan mungkin akan ditambah lagi.

Semua kebijakan tersebut memicu banjir likuiditas, yang menjadi salah satu "bahan bakar" emas melesat hingga mencapai rekor tertinggi di pertengahan tahun ini, mematahkan prediksi banyak analis.

Mengutip Kitco News Analis dari Citigorup Inc. mengatakan, emas akan memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa dalam tempo 6 sampai 9 bulan ke depan. Dan ada peluang sebesar 30% emas akan melewati level US$ 2.000/troy ons dalam 3 sampai 6 bulan setelahnya.

Sementara itu, dalam catatan yang dikutip CNBC International, Goldman memprediksi harga emas akan mencapai US$ 1.800/troy ons dalam 3 bulan ke depan, US$ 1.900/troy ons 6 bulan ke depan, dan US$ 2.000/troy ons dalam 12 bulan ke depan.

Prediksi oleh Citi dan Goldman tersebut terjadi lebih cepat, emas hari ini sudah mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Kini target selanjutnya, menuju US$ 2.000/troy ons.

Emas diprediksi terbang jauh lebih tinggi lagi. Sementara itu Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi emas akan mencetak rekor tertinggi pada tahun depan, dan jangka panjang emas akan mencapai US$ 4.000/troy ons.

Ramalan paling ekstrem datang dari Dan Olivier, pendiri Myrmikan Capita, yang memprediksi emas akan mencapai US$ 10.000/troy ons.

"The Fed, seperti yang ada ketahui, melakukan aksi pembelian aset uang masif akibat situasi yang disebabkan virus corona, oleh karena itu harga ekuilibrium emas juga naik dengan sepadan, harga emas yang seimbang dengan balance sheet The Fed kini sangat tinggi," kata Olivier, sebagaimana dilansir Kitco.

"Perkiraan saya sudah berubah, saya sekarang melihat harga emas bisa ke US$ 10.000/troy ons," tambahnya.

Sayangnya, Olivier tidak menyebutkan dalam rentang waktu berada lama emas akan mencapai level US$ 10.000/troy ons.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular