Duh! Kinerja Raksasa Migas Dunia Bakal Rontok, Separah Apa?

tahir saleh, CNBC Indonesia
26 July 2020 06:01
tambang minyak lepas pantail
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan atau Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan kinerja korporasi di sektor minyak dan gas (migas) dunia kemungkinan besar akan melaporkan kinerja keuangan di kuartal II 2020 yang habis-habisan dalam 2 pekan ke depan.

Kinerja 3 bulan kedua ini diprediksi akan menjadi titik terendah performa bisnis pada tahun ini. Perusahaan-perusahaan "migas besar" itu merujuk pada korporasi migas terbesar di dunia.

Kinerja mereka diprediksi bakal mengalami penurunan terparah dalam sejarah seiring dengan penurunan harga migas selama kuartal kedua di tengah pembatasan penguncian wilayah (lockdown) akibat coronavirus dan bersamaan dengan guncangan penurunan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Equinor, raksasa migas asal Norwegia, dijadwalkan akan melaporkan pendapatan kuartal II-2020 pada Jumat mendatang, begitu juga dengan OMV Austria, Eni Italia, Total Perancis dan perusahaan Inggris-Belanda, Shell, juga akan melaporkan kinerja pada pekan ini.

BP Inggris akan mengungkap hasil kinerja kuartalan mereka pada 4 Agustus mendatang.

Perusahaan minyak AS, ConocoPhillips juga akan melaporkan laba pada 30 Juli, begitu juga dengan Exxon Mobil dan Chevron yang diperkirakan akan menyusul pada 31 Juli.

"Saya pikir ini akan menjadi [hasil yang] brutal dan jelek," Kathy Hipple, analis IEEFA, kepada CNBC International melalui telepon, dikutip Minggu (26/7/2020).

Hipple menunjukkan bahwa harga patokan internasional untuk berjangka (futures) minyak mentah Brent rata-rata hanya US$ 29 per barel dalam 3 bulan hingga Juni lalu, turun dari rata-rata US$ 51 per barel pada kuartal pertama.

Harga minyak mentah Brent berjangka jatuh ke level terendah sejak 1999 pada 21 April lalu, sementara harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi patokan pasar AS jatuh ke wilayah negatif untuk pertama kalinya.

Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol sebelumnya mengatakan dia yakin tahun ini dianggap sebagai tahun terburuk dalam sejarah pasar minyak global. Dia menyebut istilah yang disempatkan pada kondisi saat ini yakni "Black April", kemungkinan merupakan bulan terburuk yang pernah dialami industri migas global.

"Kinerja untk kuartal kedua akan menjadi [sesuatu yang] mengerikan," kata Hipple dari IEEFA.

"Ini bukan hanya hasil dari virus, ini adalah tren jangka panjang, yang sudah berumur satu dekade," lanjutnya. Industri minyak "tidak akan mati besok, tetapi ini adalah penurunan jangka panjang yang kita lihat."

Harga minyak mentah berjangka Brent diperdagangkan pada level US$ 44,61/barel pada Kamis pagi, naik lebih dari 0,7% untuk sesi ini, sementara WTI berjangka di level US$ 42,19, 0,6% lebih tinggi.

Stuart Joyner, analis di perusahaan riset pasar Redburn, mengatakan kepada CNBC melalui telepon bahwa kuartal kedua akan menjadi "titik terendah" tahun ini untuk sektor migas, di mana hampir semua raksasa migas global melaporkan hasil diprediksi "cukup lemah".

Selain itu, pembayaran dividen kepada pemegang saham juga akan menjadi area fokus bagi industri energi ini.

Sebelumnya raksasa minyak Shell memotong dividennya untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II pada kuartal pertama 2020, sementara Equinor Norwegia memangkas dividen kuartalannya kepada pemegang saham sebanyak dua pertiga.

Shell dan BP sejak itu juga mengumumkan penurunan nilai aset mereka masing-masing hingga US$ 22 miliar dan US$ 17,5 miliar seiring dengan ekspektasi harga minyak dan gas yang lebih rendah selama 30 tahun ke depan.

Joyner mengatakan perusahaan "Big Oil" akan jatuh ke dalam tiga keputusan pembayaran dividen pada kuartal kedua saat kondisi saat ini yakni: tidak akan memotong dividen, yang sudah memotong dividen, dan yang akan memotong dividen.

Dia menyarankan Shell dan Total kemungkinan besar akan jatuh ke dalam kelompok pertama, mengingat kedua perusahaan sebelumnya telah mengindikasikan mereka tidak akan memotong dividen masing-masing pada kuartal kedua, sementara Equinor diharapkan mempertahankan tingkat dividen yang lebih rendah untuk sisa tahun ini.

Joyner memilih Eni dan BP karena dua perusahaan minyak dan gas Eropa kemungkinan akan memotong dividen pada kuartal kedua, besaran pemotongan sekitar sepertiga.

Perusahaan migas Spanyol, Repsol juga melaporkan kerugian bersih untuk kuartal kedua pada Kamis lalu dan mengumumkan penurunan US$ 1,5 miliar dari sisi aset karena perseroan menurunkan ekspektasi harga migas dalam jangka panjang. Repsol mengikuti apa yang dilakukan oleh Shell dan BP dalam menurunkan nilai aset setelah pandemi coronavirus.

"Permainannya sudah selesai: Perusahaan minyak dan gas tidak bisa lagi menutupi kelemahan finansial mereka," kata Nikki Reisch, Direktur Pusat Program Iklim & Energi Hukum Lingkungan Internasional (Center for International Environmental Law's Climate & Energy Program) mengatakan dalam sebuah laporan awal bulan ini.

Ketika ditanya apakah adil berasumsi bahwa hasil kuartal kedua di sektor migas kemungkinan besar akan menegaskan kembali proyeksi tentang kondisi industri energi pada umumnya, Reisch mengatakan kepada CNBC: "Saya akan mengatakan, ya."

"Tidak peduli bagaimana perusahaan mengiris atau memotong atau menyajikan kinerja mereka, saya pikir jelas bahwa semua tanda menunjuk ke arah yang sama - dan itu adalah penurunan sistemik jangka panjang."


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Analis: Biden Menang, Migas Senang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular