Jakarta, CNBC Indonesia - Minggu ini Dewi Fortuna lumayan berpihak ke saham-saham dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penguatan yang disponsori oleh stimulus dan kabar baik baik dari dalam maupun luar negeri.
Di sepanjang 10-17 Juli 2020, IHSG tercatat membukukan apresiasi sebesar 0,96%. Kendati menguat nyaris 1%, bursa saham domestik masih ditinggalkan oleh investor asing. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat asing membukukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 1,1 triliun.
Hampir semua indeks sektoral saham Tanah Air berhasil melenggang ke zona hijau kecuali untuk sektor property & real estate yang terkoreksi 2,15%, infrastruktur dengan pemangkasan sebesar 0,31% dan keuangan yang menurun 1,1% minggu ini.
Pada periode 13 - 17 Juli 2020, IHSG cenderung bergerak di rentang 5.064,45 - 5.098,37. Rata-rata transaksi harian di seluruh pasar mencapai Rp 6,94 triliun. Pergerakan saham diwarnai dengan berbagai peristiwa seminggu terakhir.
Sementara itu untuk nilai tukar rupiah, nasibnya masih kurang beruntung sepekan terakhir. Rupiah harus rela jadi mata uang dengan kinerja paling buruk di Asia. Potensi resesi yang meningkat jadi tekanan untuk mata uang Garuda.
Pada perdagangan terakhir untuk minggu ini, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,41% terhadap dolar AS dan ditutup di Rp 14.620/US$.
Di dalam negeri, Gubernur BI Perry Warjiyo beserta sejawat juga kembali mengambil langkah akomodatif berupa pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin. Total di sepanjang tahun ini otoritas moneter RI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 100 bps.
Menambah sentimen positif bagi pasar saham adalah kabar dari kandidat vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Moderna yakni mRNA-1273. Hasil uji klinis tahap I sudah dipublikasikan di New England Journal of Medicine.
Dari 45 peserta uji coba kandidat vaksin, semuanya terbukti mampu menghasilkan antibodi setelah kandidat mRNA-1273 diinjeksikan ke tubuh mereka. Pada percobaan putaran kedua antibodi penetral Covid-19 bahkan mulai dihasilkan.
Kabar ini membuat pasar menjadi sumringah. Berbagai rilis data ekonomi penting seperti pertumbuhan ekonomi China yang positif hingga neraca dagang RI yang surplus US$ 1,27 miliar mengindikasikan bahwa ekonomi sedang berada pada jalur pemulihan.
Di Indonesia sendiri pandemi juga belum usai. Bukannya menurun, kasus malah berfluktuasi cenderung meningkat.
Peningkatan kasus yang tinggi terutama di daerah seperti DKI Jakarta membuat pemerintah provinsi setempat kembali memutuskan untuk memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk dua pekan ke depan.
Ini menjadi sentimen negatif di kalangan para pelaku pasar yang sudah sumringah karena ekonomi mulai bergeliat. Jika jumlah kasus terus bertambah signifikan sehingga PSBB yang ketat dan masif kembali dilakukan, maka resesi adalah sebuah keniscayaan bagi ekonomi RI.
Menteri Keuangan pada beberapa hari lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Tanah Air dari sebelumnya di minus 3,8% pada kuartal kedua menjadi minus 4,3%. Lembaga keuangan global yakni Bank Dunia juga menyoroti jika mobilitas tak membaik di bulan Juli atau Agustus maka ekonomi RI bakal terkontraksi 2% tahun ini.
Dari bursa acuan dunia, Wall Street Indeks Dow Jones berhasil terapresiasi 2.25% sepekan terakhir, S&P 200 reli 2,20%, dan Indeks Nasdaq terbang 1,08%.
Kenaikan Bursa AS selama sepekan terjadi meski kasus infeksi baru Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) terus meningkat di berbagai negara terutama di AS, akan tetapi kabar perkembangan terbaru kandidat vaksin Covid-19 yang jumlahnya terus bertambah dan menunjukkan hasil positif turut mendongkrak risk appetite investor.
Kini jumlah penderita Covid-19 di seluruh dunia sudah tembus 14,3 juta orang. Korban jiwa tercatat mencapai 600 ribu orang. Paling banyak dilaporkan di AS. Pada Kamis kemarin saja, Negeri Paman Sam melaporkan ada tambahan 77 ribu kasus baru dalam 24 jam.
Pelaku pasar mencemaskan kondisi ini yang dapat berujung pada kembali diterapkannya lockdown. Namun pemerintah dan bank sentral global seolah tak mau membiarkan ekonomi jatuh lebih dalam.
Federal Reserves, bank sentral AS dikabarkan akan tetap melakukan pembelian aset-aset keuangan dengan laju US$ 120 miliar per bulan.
Bank sentral yang dipimpin oleh Jerome Powell tersebut kini sedang mengkaji kebijakan moneter selain pelonggaran kuantitatif (QE) untuk menginjeksi likuiditas ke perekonomian dan menjaga agar biaya meminjam tetap rendah untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Beralih ke Eropa, meski bank sentralnya tak mengutak-atik suku bunga acuan dan tak ada yang istimewa terkait program QE yang diterapkan, pihaknya menegaskan bahwa mereka akan terus berusaha menginjeksi likuiditas agar perekonomian tidak semakin jatuh ke dalam jurang resesi.
Program QE yang ditembuh oleh ECB diberi nama Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP). Bank sentral yang dipimpin oleh Christine Lagarde tersebut bulan lalu menambah pembelian aset keuangan sebesar 600 miliar euro sehingga membuat total alokasi pembelian mencapai 1,3 triliun euro.
Sentimen yang perlu diperhatikan para pelaku pasar untuk perdagangan hari ini adalah Isu resesi kembali mencuat di pekan lalu setelah perekonomian Singapura mengalami kontraksi dua kuartal beruntun. "Hantu" resesi tersebut masih akan "menghantui" pasar finansial global di pekan depan. Apalagi, Amerika Serikat (AS) akan merilis data produk domestic bruto (PDB) kuartal II-2020 pada Kamis 30 Juni lalu.
Memang, data tersebut baru akan dirilis 2 pekan depan, tetapi pelaku pasar tentunya sudah mulai bersiap-siap "menyambutnya".
Di kuartal I-2020, perekonomian AS mengalami kontraksi 5%, sementara di kuartal II-2020, hasil polling Reuters menunjukkan PDB diprediksi berkontraksi 32,4%, benar-benar nyungsep. Sehingga hanya keajaiban yang luar biasa yang bisa membuat AS lepas dari resesi di kuartal II-2020 ini.
Tetapi melihat data ekonomi yang dirilis belakangan ini, perekonomian AS sudah menunjukkan pemulihan di penghujung kuartal II-2020. Sehingga ada kemungkinan kontraksi pertumbuhan ekonomi tidak seburuk hasil polling Reuters.
Jika hal tersebut terjadi, efek resesi AS bukannya membuat pasar finansial global bergejolak, tetapi malah menguat. Melihat pergerakan bursa saham Singapura yang hanya melemah 1,29% di pekan ini meski mengalami resesi, penguatan bursa saham global mungkin saja terjadi merespon data PDB AS.
Sementara itu dari dalam negeri, meningkatnya risiko resesi di Indonesia juga menjadi sorotan organisasi global. Pada Kamis (16/7/2020) Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (AS) itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.
"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, baru saja memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi selama 14 hari, akibat penyebaran kasus penyakit virus corona yang masih cukup tinggi. PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama.
Juli merupakan awal kuartal III-2020, jika PSBB transisi terus berlanjut, artinya masih belum semua sektor ekonomi yang dibuka, maka ada risiko pertumbuhan ekonomi minus. Maklum saja, DKI Jakarta berokontribusi sebesar 29% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional di tahun 2019.
Sehingga jika PDB minus lagi di kuartal III-2020, maka Indonesia akan resmi mengalami resesi, mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 diproyeksikan mengalami kontraksi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan ekonomi April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%.
Sementara PDB kuartal III-2020 diramal di kisaran -1% sampai 1,2%. Itu artinya memang ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti.
Selanjutnya, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang akan mengumumkan suku bunga acuan pada siang ini (20/7/2020). Berdasarkan konsensus Trading Economic, PBoC diramal masih mempertahankan Loan Prime Rate tenor 1 tahun di 3,85% dan tenor 5 tahun di 4,65%.
Meski demikian, pelaku pasar tentunya juga menanti apakah ada sinyal-sinyal pelonggaran moneter untuk lebih memacu perekonomian China. China saat ini bisa dikatakan menjadi negara yang terdepan dalam pemulihan ekonomi di tengah pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Di kuartal I-2020, perekonomian China mengalami kontraksinya sangat dalam, 6,8% YoY, terparah sepanjang sejarah. Negeri Tiongkok langsung bangkit di kuartal II-2020 dengan membukukan pertumbuhan ekonomi 3,2% YoY.
Pertumbuhan tersebut menjadi kabar bagus bagi, sebabnya China merupakan pasar ekspor non-migas terbesar Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Juni 2020, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 12,83 miliar. Nilai ekspor tersebut mengalami kenaikan nyaris 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ahli strategi pasar global JPMorgan Asset Management, Marcella Chow dalam catatan yang dikutip CNBC International memprediksi pertumbuhan ekonomi China akan terus berlanjut. Kabar baik lagi bagi Indonesia.
"Melihat ke depan, kami memperkirakan akan melihat berlanjutnya perbaikan (ekonomi China) di kuartal-kuartal selanjutnya melihat aktivitas ekonomi domestik yang sebagian besar sudah kembali," kata Chow.
"Bersama dengan peningkatan belanja pemerintah di sektor infrastruktur, konsumsi bisa jadi pendorong pertumbuhan ekonomi baru. Saat ini rumah tangga di China memiliki deposit di bank sebagai antisiapasi selama masa pandemi yang menyebabkan pelambatan ekonomi, pemulihan konsumsi yang cepat kemungkinan baru akan terjadi ketika tingkat kepercayaan mereka meningkat," kata Chow.
Ketika ekonomi China terus tumbuh, maka permintaan untuk impor akan meningkat, sehingga akan menggerakkan ekonomi dalam negeri. Sehingga peluang ada peluang Indonesia akan segara bangkit dari keterpurukan.
Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini.
- Impor Jepang Bulan Juni (6:50 WIB)
- Ekspor Jepang Bulan Juni (6:50 WIB)
- Suku Bunga Bank Sentral China (8:30 WIB)
- Indeks Harga Produsen Jerman Bulan Juni (13:00 WIB)
- Tingkat Pengangguran Hong Kong Bulan Juni (15:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Juni 2020 YoY) | 1,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020) | 4,00% |
Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020) | -5,07% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (Kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Cadangan devisa (Juni 2020) | US$ 131,72 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA