
Tagihan Piutang 7 BUMN Tembus Rp 113 T, Negara Bisa Bayar?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mendapatkan beban tambahan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini mengemuka setelah Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa perusahaan BUMN masih punya piutang kepada pemerintah yang hingga kini belum terbayarkan.
Bahkan utang paling besar pemerintah yakni kepada PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) dengan nilai masing-masing Rp 48,46 triliun dan Rp 45 triliun.
Ada 7 perusahaan BUMN yang piutangnya belum dibayarkan pemerintah yang sebagian besar utang tersebut berasal dari pelayanan publik atau public service obligation (PSO). Total utang pemerintah, berdasarkan paparan Erick Thohir di depan parlemen, pada Rabu kemarin (15/7/2020) menembus Rp 113,48 triliun.
"Lalu juga untuk pencairan utang kepada pemerintah, kita lihat PLN memang nilainya besar Rp 48,46 triliun memang ini yang jelas subsidi dan kompensasi listrik yang 3 tahun belum dibayar [pemerintah], ini tanggungjawab pelayanan publik PLN," kata Erick.
"Pertamina juga [piutangnya] Rp 45 triliu, memang merupakan tanggungjawab pelayanan publik yang memang kalau dilihat [utang pemerintah ini dari] subsidi dan kompensasi," katanya.
Secara rinci berikut 7 BUMN yang masih memiliki piutang dari pemerintah dan belum dibayar:
1. PT PLN (Persero) Rp 48,46 triliun
2. PT Pertamina (Persero) Rp 45 triliun
3. Kolektif BUMN Karya Rp 12,16 triliun
4. PT Pupuk Indonesia (Persero) Rp 6 triliun
5. PT Kimia Farma Tbk (KAEF) Rp 1 triliun
6. Perum Bulog Rp 560 miliar
7. PT KAI (Persero) Rp 300 miliar
Defisit Anggaran
Di lain pihak, pemerintah telah menambah biaya penanganan pemulihan ekonomi nasional (PEN) menjadi Rp 695,2 triliun dari sebelumnya Rp 677,2 triliun. Penambahan ini diikuti oleh pelebaran defisit anggaran yang di proyeksi melebar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pelebaran defisit anggaran ini disebabkan porsi belanja yang semakin besar dan penerimaan yang tertekan. Hal ini tidak lain disebabkan karena pandemi Covid-19 yang memang menjadi tantangan semua negara.
Ia menjelaskan, saat ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2020 yang merupakan revisi dari PMK nomor 54 tahun 2020.
Dalam Perpres 72 ini dituliskan pendapatan Negara Rp 1.699,94 triliun yang terdiri dari Penerimaan perpajakan Rp 1.404,50 triliun, PNBP Rp 294,14 triliun dan Hibah Rp 1,3 triliun.
Belanja Negara Rp 2.739,16 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.975,24 triliun, sudah termasuk tambahan belanja untuk penanganan Covid-19 Rp 358,88 triliun. Belanja TKDD Rp 763,92 triliun, juga sudah termasuk belanja penanganan Covid-19 Rp 5 triliun.
"Nah kalau belanja lebih besar dari penerimaan kita mengalami defisit. Defisit akan membutuhkan pembiayaan. Kita ambil kebijakan defisit karena ketika ekonomi alami tekanan akan berdampak ke sisi penerimaan dan dengan perlambatan ekonomi maka menurunkan penerimaan pajak. Di sinilah peran pemerintah jika kita bicara mengenai countercyclical," ujarnya, Kamis (2/7/2020).
Pada semester I-2020, Kemenkeu mencatat defisit anggaran kembali melebar. Defisit APBN hingga Juni telah mencapai Rp 257,8 triliun atau 1,57% terhadap PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit ini melebar dibandingkan dengan realisasi semester I-2019 yang tercatat 0,85% dari PDB. Pelebaran ini disebabkan oleh penanganan penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah.
"Sampai semester I, defisit anggaran kita sudah terealisir Rp 257,8 triliun atau negatif dibandingkan tahun lalu, yang defisitnya tahun ini mencapai 1,57% dari GDP [PDB]. Ini lebih dalam dibanding defisit tahun lalu," ujar Sri Mulyani di Ruang Rapat Banggar, Kamis (9/7/2020).
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 7 BUMN Rugi Disentil Sri Mulyani, 2 Sudah Cetak Laba
