
Bubarkan OJK? Jangan Seenaknya, Ferguso!

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana pembubaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mencuat pekan lalu. Para politisi angkat suara soal wancana tersebut, dan tak ketinggalan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo.
Suara keras dari Bambang Soeatyo intinya mendorong pembubaran OJK melalui Perppu atau perangkat kebijakan lainnya. Fungsi pengawasan dan hal lainnya yang melekat di OJK bisa dikembalikan kepada Bank Indonesia (BI).
Menurutnya, DPR RI dan pemerintah tak perlu ragu membubarkan OJK yang notabene dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011. Lebih baik mengoreksi dibanding membiarkan kesalahan berlarut dan akhirnya rakyat yang menjadi korban.
"Skandal Jiwasraya hanyalah bagian kecil dari sengkarut yang menimpa OJK. Alih-alih menjadi pengawas yang kredibel dalam menjaga uang masyarakat yang berada di perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, pergadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, OJK malah menjadi duri dalam sekam," ujar di Jakarta, Sabtu (11/7/20).
Sebelumnya Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto juga mengatakan membuka opsi untuk melakukan evaluasi terhadap jajaran di Bank Indonesia (BI) dan OJK.
Dito mengungkapkan evaluasi kinerja BI dan OJK harus segera dilakukan, terlebih tidak ada kepastian kapan tekanan ekonomi dari pandemi COVID-19 ini akan usai.
Menurut Dito, kedua lembaga regulator sistem keuangan itu dinilai terlalu lamban dalam memitigasi tekanan ekonomi akibat COVID-19. Hal itu juga termasuk dalam alotnya kesepakatan untuk berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah.
"Ada masalah leadership (kepemimpinan), leadership yang mungkin kami perlu kaji ulang, tidak apa-apalah sudah. Kalau perlu kami kocok ulang kalau memang masih seperti ini, karena banyak sangat terdampak dengan situasi saat ini, mereka seharusnya kerja extraordinary di masa seperti ini," kata Dito kepada wartawan, Selasa (7/7/2020)
Terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, harus diperjelas apa alasan para politisi ingin membubarkan OJK.
Apakah masalah leadership OJK yang lemah atau ada masalah kelembagaan. Apabila masalahnya adalah leadership atau kepemimpinan, solusinya adalah mengganti pemimpinnya.
"Karena tidak ada jaminan OJK dibubarkan, dikembalikan ke BI bisa lebih efektif. Jangan pakai sentimen politik lah. Keluarkan dulu kajian lengkapnya dan tawaran opsinya," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Sabtu (11/7/2020).
Bhima memandang, jika hanya sentimen politik jangka pendek, tidak akan selesai masalahnya. Bahkan tambah rumit. Bisa membuat nasabah dan investor panik. Ditambah, apabila OJK dibubarkan, biaya pembangunan lembaga baru, selain makan waktu juga mahal.
Untuk waktu saat ini, pembubaran OJK tidak tepat. Belajar dari Financial Service Authority (FSA) di Inggris, di mana mereka dikasih waktu 5 tahun pasca gagal untuk mengatasi krisi perbankan 2008.
"Baru 2013 dibubarkan dan dibuat lembaga baru. Gak bisa terburu-buru, perlu pertimbangan yang matang dari sisi makro ekonomi, market confidences dan tekanan likuiditas bank," jelas Bhima.
Sebelumnya, Gubernur BI (periode 2003-2008) Burhanudin mengatakan dirinya menolak jika OJK dibubarkan di tengah pandemi covid-19 saat ini.
Menurut Burhanuddin, saat ini kondisi tidak memungkinkan. Karena masih banyak masalah terutama krisis yang terjadi.
"Saya tidak akan katakan saya setuju OJK dibubarkan. Saya tidak setuju kalau OJK dibubarkan."
"Case kita seperti krisis ini harus tenang dulu. Dipikirkan nanti. Nanti setelah tenang dilihat kembali mengenai rencana ini," tutur Burhanuddin.
Wacana ini rupanya terakhir memancing respons Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2011-2014, Dahlan Iskan. Dalam blog pribadinya disway.id,
Dalam tulisannya itu, Dahlan nampak tidak setuju jika lembaga pengawas tersebut harus dibubarkan. Ia menilai, OJK harus diberi waktu agar bisa kembali menunjukkan taringnya. Bukan justru sebaliknya, membuat jantung pegawai OJK berdebar-debar.
"Isu penggabungan kembali OJK ke dalam Bank Indonesia memang harus diabaikan. Setidaknya sampai tiga tahun ke depan. Terlalu banyak pekerjaan lebih sulit yang harus dihadapi sampai tahun 2023. Dalam situasi sulit seperti ini tidak baik kalau kita hanya sibuk berheboh-heboh," kata Dahlan pada tulisan berjudul OJK Risma.
Seakan tidak ingin sendiri, Ia menunjukkan sejumlah tokoh yang berdiri dalam menentang pembubaran OJK. Sebagai lembaga pengawas, keberadaannya dinilai masih dibutuhkan.
"Semua ahli ekonomi tidak ada yang mendukung pembubaran itu. Baik yang di Zoominar Institut Narasi, maupun yang menghadirkan Mantan Menkeu Chatib Basri dua hari lalu," paparnya.
Seperti apa pemikiran Dahlan soal wacana pembubaran OJK tersebut, simak pada halaman berikut ini.
Berikut tulisan Dahlan mengenai isu pembubaran OJK:
Syukurlah isu pembubaran OJK reda. Dasar isu itu memang tidak kuat - kecuali sengaja ingin bikin jantung pegawai OJK berdebar-debar. Bahwa Presiden Jokowi sampai marah besar, mungkin karena info-memo yang masuk ke beliau sangat provokatif.
Semua ahli ekonomi tidak ada yang mendukung pembubaran itu. Baik yang di Zoominar Institut Narasi, maupun yang menghadirkan Mantan Menkeu Chatib Basri dua hari lalu.
Bahkan Chatib memuji Otoritas Jasa Keuangan itu. Yang, katanya, dengan cepat merespons krisis ekonomi akibat pandemi. Yakni dengan relaksasi kredit. Pengusaha bisa menunda pembayaran utang sampai tahun 2021.
Maka isu penggabungan kembali OJK ke dalam Bank Indonesia memang harus diabaikan. Setidaknya sampai tiga tahun ke depan. Terlalu banyak pekerjaan lebih sulit yang harus dihadapi sampai tahun 2023.
Dalam situasi sulit seperti ini tidak baik kalau kita hanya sibuk berheboh-heboh.
Tapi kan OJK lemah dalam melakukan pengawasan? Sampai timbul mega-skandal Jiwasraya?
Ternyata OJK punya penjelasan khusus. Yang disampaikan oleh bagian Humas-nya.
"Soal Jiwasraya itu sudah terjadi sejak 2004," katanya.
Seharusnya, dulu, kasus itu diselesaikan dengan cara penambahan modal. Tapi yang dilakukan adalah meningkatkan penjualan. Termasuk melalui bancassurance.
Yakni produk baru saat itu, penjualan asuransi dikaitkan dengan program bank. Itulah yang telah menjadi bom waktu. Yang baru meledak di tahun 2019.
Sebagian ahli menilai bancassurance itu memang mirip produsen bom waktu.
Ia bukan bank dan bukan pula asuransi - alias bukan-bukan.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dahlan Iskan Bicara Soal 'Pepesan Kosong' Pembubaran OJK
