Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar yuan China sedang cemerlang di pekan ini, khususnya melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tanda-tanda kebangkitan ekonomi China setelah dihantam pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi pemicu penguatan yuan.
Pada pukul 16:20 WIB, yuan China melemah 0,19% ke 7,0058/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Tetapi, dalam 4 hari terakhir, yuan melesat lebih dari 1%. Sementara melawan rupiah, yuan hari ini menguat 0,09% ke Rp 2.049,47/CNY. Tetapi dalam 4 hari terakhir, penguatannya tipis 0,14%.
China merupakan negara asal virus corona, sekaligus negara pertama yang sukses meredam penyebaran virus yang sudah menginfeksi lebih dari 12 juta orang di lebih dari 200 negara/wilayah di dunia.
Berdasarkan data Worldometer, jumlah kasus Covid-19 di China hingga saat ini sebanyak 83.585 orang, dengan 4.634 meninggal dunia, dan 78.609 sembuh. Artinya jumlah kasus yang masih ditangani saat ini sebanyak 342 orang.
Virus corona berasal dari kota Wuhan provinsi Hubei China, sudah mulai ditemukan sejak akhir tahun lalu, tetapi baru menyebar luas mulai Januari 2020. Pada 23 Januari lalu, kota Wuhan resmi dikarantina (lockdown) menyusul provinsi Hubei beberapa hari setelahnya.
Kurs yuan yang sebelumnya menguat melawan dolar AS berbalik melemah setelah virus corona mulai menyebar dan diterapkannya kebijakan lockdown. Maklum saja, perputaran roda bisnis China jadi melambat, bahkan nyaris terhenti.
Tahun Baru Imlek yang biasanya terjadi peningkatan konsumsi dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, saat itu malah diliputi kecemasan akan meluasnya Covid-19.
Alhasil, pertumbuhan ekonomi China nyungsep di kuartal I-2020. Produk domestic bruto (PDB) dilaporkan minus 6,8% year-on-year (YoY) menjadi yang terburuk sepanjang sejarah.
Kota Wuhan mengalami lockdown selama 76 hari dan baru dibuka kembali pada awal April lalu. Dibukanya kembali Wuhan menjadi tanda China telah "menang" melawan virus corona, dan awal kembangkitan ekonomi. Kurs yuan China sempat menguat setelahnya, tetapi kemudian kembali melemah karena belum ada bukti ekonomi China bisa segera bangkit, apalagi virus corona sudah menyebar ke seluruh dunia, yang membuat perekonomian global terencam menuju resesi.
China juga sempat mendapat serangan virus corona gelombang kedua pada bulan lalu, ibu kota Beijing menjadi hotspot baru. Tetapi sekali lagi, China berhasil meredam penyebarannya.
Tanda-tanda kebangkitan ekonomi China pun mulai muncul, dan yuan akhirnya terus menguat.
IHS Markit pada 30 Juni lalu melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tiongkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi dan di atasnya berarti ekspansi.
Dengan demikian, China masih mampertahankan bahkan menambah laju ekspansi di bulan Juni, meski virus corona sempat menyerang ibu kota Beijing.
Sejak dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor manufaktur China hanya mengalami kontraksi di bulan Februari (angka indeks sebesar 35,7) setelahnya, mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun. Sehingga harapan akan perekonomian bisa segera bangkit kembali muncul.
Selain itu, kemarin inflasi bulan Juni dilaporkan tumbuh 2,5% secara tahunan atau year-on-year (YoY), naik dari bulan sebelumnya 2,4% YoY. Ini juga merupakan kenaikan pertama setelah menurun dalam 4 bulan sebelumnya.
Kenaikan inflasi menjadi indikasi roda bisnis kembali berputar, konsumsi mulai meningkat sehingga harga-harga jadi naik.
Pulihnya tingkat produksi serta konsumsi tersebut membuat PDB Negeri Tiongkok diprediksi tumbuh 1,1% di kuartal II-2020, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Nikkei dan Nikkei Quick News terhadap para ekonom.
Itu artinya, ada kemungkinan perekonomian China akan membentuk kurva V-shape, merosot dalam di kuartal I tetapi rebound tajam di sisa tahun ini. Sehingga wajar jika kurs yuan China menguat tajam dalam belakangan ini, bahkan ada kemungkinan terus menguat mengingat negara-negara lainnya termasuk Amerika Serikat masih berjuang melawan virus corona.
Namun, apakah yuan layak dijadikan investasi?
Yuan merupakan satu dari lima mata uang yang termasuk dalam Special Drawing Rights (SDR) IMF, tiga lainnya yakni dolar AS, euro, yen, dan poundsterling. Status tersebut baru didapatkan pada September 2016 dan menguatkan posisi yuan sebagai mata uang internasional.
Sehingga yuan bisa saja dijadikan aset investasi.
Tetapi, meski sudah mendapat status "istimewa" tersebut, dibandingkan mata uang lainnya porsi yuan dalam cadangan devisa memang sangat kecil.
Selain itu, yang patut diingat pergerakan nilai tukar yuan sangat dikontrol oleh bank sentral China, (People's Bank of China/PBoC).
Setiap harinya PBoC akan menetapkan nilai tukar yuan terhadap dolar AS, dan membiarkannya bergerak melemah atau menguat hingga maksimal 2% dari nilai tengah.
Kontrol PBoC terhadap nilai tukar tersebut menjadi kurang disukai dalam transaksi perdagangan. PBoC bisa sewaktu-waktu melemahkan atau menguatkan nilai tukar mata uang yang juga disebut renminbi ini. Tentunya akan kurang menguntungkan saat memegang yuan, kemudian PBoC mendepresiasi nilai tukarnya secara signifikan.
Contohnya pada bulan Agustus lalu ketika PBoC mendepresiasi nilai tukar yuan terhadap dolar AS ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade, gejolak timbul di pasar finansial. AS bahkan sampai menjuluki China manipulator mata uang.
Meski demikian, dalam beberapa tahun ke depan yuan diprediksi masuk dalam tiga besar mata uang cadangan devisa. Dalam beberapa tahun terakhir, porsi yuan di cadangan devisa global terus bertambah secara konsisten.
Sejak awal menjadi SDR IMF, porsi yuan di cadangan devisa global hanya 1,07% di kuartal IV-2019. Dibandingkan posisi di kuartal II-2019, tentunya terjadi kenaikan hampir dua kali lipat.
Penambahan porsi yuan tersebut diprediksi masih akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang hingga mencapai 5-10% dari total cadangan devisa dunia.
"Pada akhirnya, apa yang kita pikirkan akan terjadi dalam 25 tahun ke depan adalah kita akan maju, kita akan memiliki dunia dengan tiga mata uang utama: dolar AS, euro, dan yuan" kata Massimiliano Castelli, head of strategy and advice, global sovereign markets, dari UBS Asset Management, sebagaimana dilansir Reuters.
"Dalam 25 tahun ke depan, porsi dolar dalam cadangan devisa global adalah sebesar 60-65%. Saya tidak melihat alasan, kenapa kita tidak bisa melihat dolar dengan porsi 50%, euro 20-25%, dan yuan 5-10% dan menjadikanya mata uang dengan porsi terbesar ketiga di cadangan devisa" tambahnya.
Dalam jangka panjang, Castelli memprediksi rata-rata porsi renminbi dalam cadangan devisa dunia adalah 4,2%.
Jadi, investasi yuan bisa jadi akan menjadi menarik, tetapi untuk jangka yang sangat panjang.Â
TIM RISET CNBC INDONESIAÂ