Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menumpahkan keluh-kesah. Kepala Negara masih menyoroti soal lambannya penyerapan belanja negara, yang bisa berujung kepada pelambatan ekonomi bahkan resesi.
"Kita tahu semuanya bahwa dunia sedang krisis. Krisis kesehatan, krisis ekonomi, 215 negara mengalami hal yang sama, termasuk kita. Sekali lagi, percepat belanja," tegas Jokowi dalam sidang kabinet, Selasa pekan ini.
Wajar Jokowi gundah. Sebab belanja pemerintah mungkin adalah satu-satunya harapan agar ekonomi bisa tumbuh dan Indonesia terhindar dari resesi.
Konsumsi rumah tangga, motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi, masih sulit diharapkan. Mengutip hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juni 2020 berada di 83,8. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 77,8.
Oke, memang ada perbaikan IKK yang menunjukkan bahwa rumah tangga lebih optimistis dalam menghadapi perekonomian saat ini hingga enam bulan ke depan. Namun jangan lupa bahwa IKK menggunakan angka 11 sebagai titik start. Kalau masih di bawah 100, berarti konsumen masih pesimistis.
IKK terbagi menjadi dua sub-indeks, yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK). Ternyata yang masih bermasalah adalah IKE, yang pada Juni nilainya 45,8. Turun dibandingkan Mei yang sebesar 50,7.
Kemudian IKE dibagi lagi menjadi tiga sub-indeks yaitu Indeks Penghasilan Saat Ini, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama. Dari tiga sub-indeks ini, yang disebut terakhir mengalami penurunan paling tajam.
Artinya, daya beli konsumen masih tertekan. Saat ini yang menjadi prioritas adalah kebutuhan pokok, kebutuhan primer, urusan perut. Belum terpikir untuk membeli barang-barang tahan lama yang merupakan kebutuhan sekunder, bahkan tersier.
KONSUMSI JADI ANDALAN >> HALAMAN SELANJUTNYA
Data ini menggambarkan bahwa konsumsi rumah tangga belum cukup kuat untuk mengatrol pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya rumah tangga, dunia usaha juga masih mengalami tekanan. Ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang dirilis oleh IHS Markit.
Pada Juni 2020, PMI manufaktur Indonesia tercatat 39,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 28,6.
Lagi-lagi, memang ada peningkatan. Namun PMI menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Jika masih di bawah 100, artinya dunia usaha masih belum melakukan ekspansi. Kala dunia usaha masih terkontraksi, maka investasi dan ekspor juga tidak bisa diharapkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi.
Saat konsumsi rumah tangga, investasi, sampai ekspor melempem, harapannya memang tinggal belanja pemerintah. Namun kalau melihat realisasi belanja negara, setidaknya sampai akhir Mei 2020, Jokowi memang pantas kecewa.
Hingga akhir Mei, penyerapan belanja negara adalah Rp 843,94 triliun. Jumlah ini masih 32,29% dari target. Jika dibandingkan dengan realisasi Januari-Mei 2019, malah ada penurunan 1,4%.
 Kementerian Keuangan |
"Saya minta kita memiliki sense yang sama, sense of crisis yang sama. Jangan sampai tiga bulan yang lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, work from home, yang saya lihat ini kayak cuti malahan. Padahal pada kondisi krisis, kita harusnya bekerja lebih keras lagi," jelas Jokowi.
Apabila performa belanja pemerintah tidak ada perbaikan, atau malah semakin santuy, maka prospek pemulihan ekonomi pada kuartal III-2020 menjadi samar-samar. Pada kuartal II-2020, proyeksi terbaru pemerintah adalah Indonesia bisa mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif ) -3,8%.
Kalau pada kuartal III-2020 kontraksi kembali terjadi, maka Indonesia secara sah dan meyakinkan sudah masuk ke zona resesi. Ini mungkin bisa dihindari, andai pemerintah lebih baik dalam merealisasikan belanja negara.
Risiko Indonesia masuk ke jurang resesi sepertinya semakin tinggi. Pasalnya, tambah banyak saja institusi yang meramal Indonesia bakal mengalami kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun pada 2020.
Teranyar adalah Japan Center for Economic Research (JCER) yang memperkirakan Indonesia bakal resesi. Pada kuartal II-2020, JCER memperkirakan kontraksi ekonomi Ibu Pertiwi berada di -3,2%. Kemudian pada kuartal berikutnya terjadi kontraksi -1,2% dan pada kuartal terakhir 2020 ada kontraksi -0,1%. Jadi ekonomi Indonesia sepanjang 2020 diperkirkaan mengkerut -0,3%.
 JCER |
DBS, bank terbesar di ASEAN, juga memperkirakan ekonomi Indonesia bakal minus tahun ini tepatnya di -1%. Kuartal II sepertinya akan menjadi titik nadir, dan kemudian tren pembalikan terjadi mulai paruh kedua 2020.
"Indikator ekonomi seperti ekspor, penjualan ritel, keyakinan konsumen, PMI, impor barang modal, dan sebagainya masih turun pada April dan Mei. Jadi penurunan pada kuartal II sepertinya bakal lumayan dalam, sebelum membaik pada semester II," sebut riset DBS.
Proyeksi-proyeksi tersebut memberi gambaran bahwa resesi adalah risiko yang sangat nyata. Risiko bisa mungkin bisa diminimalkan, bahkan dihapus, jika belanja pemerintah lebih teserap maksimal.
TIM RISET CNBC INDONESIA