
RI di Ambang Resesi Tapi APBN Mampet, Pantas Jokowi Kecewa!

Data ini menggambarkan bahwa konsumsi rumah tangga belum cukup kuat untuk mengatrol pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya rumah tangga, dunia usaha juga masih mengalami tekanan. Ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang dirilis oleh IHS Markit.
Pada Juni 2020, PMI manufaktur Indonesia tercatat 39,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 28,6.
Lagi-lagi, memang ada peningkatan. Namun PMI menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Jika masih di bawah 100, artinya dunia usaha masih belum melakukan ekspansi. Kala dunia usaha masih terkontraksi, maka investasi dan ekspor juga tidak bisa diharapkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi.
Saat konsumsi rumah tangga, investasi, sampai ekspor melempem, harapannya memang tinggal belanja pemerintah. Namun kalau melihat realisasi belanja negara, setidaknya sampai akhir Mei 2020, Jokowi memang pantas kecewa.
Hingga akhir Mei, penyerapan belanja negara adalah Rp 843,94 triliun. Jumlah ini masih 32,29% dari target. Jika dibandingkan dengan realisasi Januari-Mei 2019, malah ada penurunan 1,4%.
![]() |
"Saya minta kita memiliki sense yang sama, sense of crisis yang sama. Jangan sampai tiga bulan yang lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, work from home, yang saya lihat ini kayak cuti malahan. Padahal pada kondisi krisis, kita harusnya bekerja lebih keras lagi," jelas Jokowi.
Apabila performa belanja pemerintah tidak ada perbaikan, atau malah semakin santuy, maka prospek pemulihan ekonomi pada kuartal III-2020 menjadi samar-samar. Pada kuartal II-2020, proyeksi terbaru pemerintah adalah Indonesia bisa mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif ) -3,8%.
Kalau pada kuartal III-2020 kontraksi kembali terjadi, maka Indonesia secara sah dan meyakinkan sudah masuk ke zona resesi. Ini mungkin bisa dihindari, andai pemerintah lebih baik dalam merealisasikan belanja negara.
(aji/aji)