
Rupiah 2 Jempol Kemarin, Hari Ini Bisa 4 Jempol Kah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen lagi bagus. Nilai tukar rupiah pun kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu kemarin (8/7/2020). Apresiasi mata uang Garuda ini melanjutkan tren positif sejak awal pekan. Meredanya kecemasan akan kenaikan inflasi menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat sejak Selasa lalu.
Data perdagangan menunjukkan, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,07% ke Rp 14.390/US$. Tetapi mayoritas perdagangan dihabiskan rupiah dengan stagnan di Rp 14.400/US$. Beberapa menit sebelum perdagangan ditutup rupiah akhirnya "ngebut" dan finish di level Rp 14.350/US$.
Tidak hanya menguat, rupiah juga membukukan hat-trick alias penguatan 3 hari beruntun. Tidak hanya itu, rupiah kembali menjadi juara alias mata uang dengan kinerja terbaik di Asia, Rabu kemarin.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:10 WIB, Rabu kemarin.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Penjualan Riil (IPR) turun sebesar 20,6% secara tahunan atau year-on-year (yoy) pada Mei 2020. Lebih dalam dibandingkan dengan penurunan sebesar 16,9% (yoy) pada April 2020.
"Penurunan penjualan bersumber dari kontraksi penjualan di seluruh kelompok komoditas yang dipantau. Penurunan terdalam pada sub-kelompok sandang serta kelompok barang budaya dan rekreasi," tulis keterangan BI yang dirilis Rabu (8/7/2020).
Pada Juni 2020, BI memperkirakan penjualan ritel sedikit membaik meski masih dalam fase kontraksi. Hal ini tercermin dari prakiraan pertumbuhan IPR sebesar -14,4% (yoy) Juni 2020, tidak sedalam kontraksi penjualan pada bulan Mei.
Perbaikan kinerja penjualan eceran terutama terjadi pada kelompok makanan, minuman dan tembakau serta bahan bakar kendaraan bermotor.
Penurunan penjualan ritel dalam 2 bulan terakhir bisa dimaklumi, sebabnya penerapan social distancing, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah membuat aktivitas ekonomi menurun drastis. PSBB baru mulai dilonggarkan pada bulan Juni lalu, sehingga penjualan ritel diramal akan membaik.
Rupiah sejak pekan lalu tertekan akibat ekspektasi kenaikan tajam inflasi yang dapat membuat real return investasi menurun.
Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,6 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.
Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.
Rupiah juga mendapat sentimen positif cadangan devisa Indonesia yang kembali mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah US$ 132 miliar yang dibukukan Januari 2018 lalu. Rupiah jadi semakin garang.
BI melaporkan cadangan devisa di bulan Juni sebesar US$ 131,7 miliar, naik US$ 1.2 miliar pada akhir Mei.
Kenaikan cadangan devisa tersebut tentunya membuat amunisi BI untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak menjadi lebih besar. Sehingga investor lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh Dolar AS Lagi Garang, Rupiah pun Ditekuk & Tumbang