Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah mengalami pelemahan dalam 7 hari perdagangan beruntun. Kinerja positif tersebut tentunya menjadi awal yang bagus untuk mengarungi pekan ini.
Pada perdagangan Senin (6/7/2020), rupiah menguat 0,07% ke Rp 14.440/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Meski tipis, tapi sudah cukup memutus rentetan pelemahan di angka 7 hari. Selama periode buruk tersebut, total rupiah melemah 2,63%.
Penguatan dan pelemahan rupiah memang sangat tergantung dengan keluar masuknya modal asing (hot money) di dalam negeri.
Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan Indonesia sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.
Sementara arus keluar-masuk tersebut dipengaruhi oleh sentimen pelaku pasar, saat sedang bagus maka modal akan dialirkan ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Indonesia menjadi salah satu yang mendapat aliran modal tersebut, pada periode April hingga 8 Juni, rupiah tercatat menguat lebih dari 15% melawan dolar AS.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, selama periode penguatan tersebut terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 14,53 triliun.
Setelahnya rupiah mulai masuk tren melemah. Di saat yang sama, sejak 8 Juni hingga awal 1 Juli terjadi outflow di pasar obligasi sebesar Rp 5,69 triliun.
Yield obligasi Indonesia memang terbilang tinggi, rata-rata yield obligasi tenor 10 tahun berada di 7,25%, dengan inflasi yang masih terjaga di bawah 3%, dan terus menurun, sehingga riil return yang dihasilkan menjadi relatif tinggi. Pada bulan Juni lalu, inflasi bahkan tercatat 1,96% year-on-year.
Tetapi, riil return tersebut terancam menurun, sehingga mengurangi daya tarik investasi di dalam negeri.
Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "burden sharing" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.
Ada kecemasan di pasar jika rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.
Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.
Saat mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% pertengahan Juni lalu, BI memang membuka peluang akan kembali memangkas 7 Day Reserve Repo Rate tersebut.
Hal tersebut membuat rupiah tertekan sejak pekan lalu, bahkan saat sentimen pelaku pasar cukup bagus.
Terkait dengan "burden sharing" pemerintah dan BI akhirnya menyepakati skema tersebut. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sore ini menjelaskan, skema burden sharing yang disepakati dengan BI antara lain :
Beban Dampak Covid-19 untuk Public Goods (Kesehatan, Perlindungan Sosial, Sektoral, K/L, Pemda) Rp 397 triliun: Ditanggung 100% oleh BI
Non-Public Goods (UMKM) Rp 123,46 triliun : BI Reverse Repo Rate Dikurangi Discount 1%
Non-Public Goods (Korporasi Non-UMKM) : BI Reverse Repo Rate
Non Public Goods (Lainnya) : Ditanggung 100% oleh Pemerintah
"Prinsip burden sharing ini tetap menjaga keberlangsungan fiskal agar tetap terkendali, sustainable, dan kredibel serta dilakukan secara hati-hati," kata Sri Mulyani, dalam konferensi pers bersama Bank Indonesia (BI), Senin (6/7/2020).
Sementara itu Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan tidak besar.
Sehingga kecemasan pelaku pasar akan kenaikan inflasi dan menurunnya riil return sedikit mereda. Rupiah pun punya modal kembali perkasa.
Sementara itu di awal pekan ini, sentimen pelaku pasar juga sedang bagus. Membaiknya sentimen pelaku pasar terlihat dari indeks Shanghai Composite China yang melesat lebih dari 5% yang turut mengerek bursa saham Asia lainnya.
Melansir CNBC International, Jackson Wong, direktur aset management di Amber Hill Capital, mengatakan penguatan tajam Shanghai, serta peningkatan volume trading yang signifikan memperkuat ekspektasi jika periode penguatan (bull run) akan kembali datang.
Wong mengatakan salah satu penyebab ekspektasi tersebut adalah kondisi ekonomi China masih masih menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang masih meningkat secara global.
Penguatan tajam tersebut memberikan hawa positif ke rupiah hari ini, hingga akhirnya menguat tipis.
Jika penguatan tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin rupiah mendapat tenaga lagi untuk menguat. Apalagi, keyakinan konsumen Indonesia mulai membaik lagi, meski belum benar-benar optimistis.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Juni 2020 sebesar 83,8. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 77,8.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Jika di bawah 100, artinya konsumen pede mengarungi perekonomian saat ini dan masa mendatang.
"Keyakinan konsumen terpantau membaik pada seluruh kategori responden, baik menurut tingkat pengeluaran maupun kelompok usia. Secara spasial, keyakinan konsumen membaik di 14 kota survei, dengan perbaikan tertinggi di kota Mataram, diikuti Jakarta dan Samarinda," sebut laporan BI.
Membaiknya optimisme konsumen terutama disebabkan oleh menguatnya ekspektasi konsumen terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang, seiring dengan prakiraan meredanya pandemi COVID-19 di Indonesia. Penguatan di sisi ekspektasi terutama ditopang oleh prakiraan ekspansi kegiatan usaha yang meningkat pada 6 bulan mendatang.
Kala keyakinan konsumen membaik, maka konsumsi juga berpotensi meningkat, sehingga roda bisnis kembali berputar.
Secara teknikal, penguatan rupiah hari ini membentuk pola Shooting Star. Jika dilihat pada grafik, badan (candle stick) kecil di bagian bawah, sementara ekornya panjang ke atas. Pola tersebut disebut shooting star, dan kerap dijadikan sinyal pembalikan arah atau USD/IDR akan bergerak turun, dengan kata lain rupiah berpeluang menguat.
Hal ini diperkuat dengan indikator stochastic yang berada di wilayah jenuh beli (overbought).
 Foto: Refinitiv |
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik turun. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang turun, yang artinya dolar AS berpeluang melemah setelah stochastic mencapai overbought.
Artinya ada peluang rupiah akan menguat, dengan support (tahanan bawah) terdekat di Rp 14.415/US$. Jika berhasil dilewati, rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.300/US$ hingga Rp 14.230/US$.
Resisten (tahanan atas) terdekat berada di kisaran Rp 14.590/US$, selama tidak dilewati, rupiah masih berpeluang menguat.
Untuk jangka lebih panjang, rupiah sebenarnya masih berpeluang menguat ke Rp 13.565/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 100% masih terbuka, selama bertahan di bawah Rp 14.730/US$ (Fibonnaci Retracement 61,8%).
TIM RISET CNBC INDONESIA