'Dibantu' China, Rupiah Akhirnya Kuat Lagi Usai KO 7 Hari

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 July 2020 15:58
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (6/7/2020) setelah mencatat pelemahan 7 hari beruntun.

"Bantuan" hawa positif datang dari China, indeks Shanghai Composite melesat lebih dari 4% yang menjadi indikasi sentimen pelaku pasar sedang bagus.

Perjalanan rupiah hari ini tidak bisa dikatakan mulus. Rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% dan sempat melemah 0,83% ke Rp 14.570/US$.

Setelah mencapai level terlemah intraday tersebut, rupiah perlahan mulai bangkit hingga akhirnya menutup perdagangan di level Rp 14.440/US$, menguat tipis 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Mayoritas mata uang utama Asia memang menguat melawan dolar AS pada hari ini, bahkan beberapa dengan persentase yang cukup besar. Meski penguatan rupiah terbilang tipis, tetapi bisa menjadi awal yang baik untuk mengarungi pekan ini.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:07 WIB.

Indeks Shanghai Composite China hari ini melesat lebih dari 5% yang turut mengerek bursa saham Asia lainnya. Penguatan tajam tersebut memberikan hawa positif ke rupiah hari ini, hingga akhirnya menguat tipis.

Melansir CNBC International, Jackson Wong, direktur aset management di Amber Hill Capital, mengatakan penguatan tajam Shanghai, serta peningkatan volume trading yang signifikan memperkuat ekspektasi jika periode penguatan (bull run) akan kembali datang.

Wong mengatakan salah satu penyebab ekspektasi tersebut adalah kondisi ekonomi China masih masih menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang masih meningkat secara global.

ISH Markit pada pekan lalu melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tiongkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi dan di atasnya berarti ekspansi.

Dengan demikian, China masih mempertahankan bahkan menambah laju ekspansi di bulan Juni, meski virus corona sempat menyerang ibu kota Beijing. Sehingga harapan akan perekonomian bisa segera bangkit kembali muncul.

Sejak dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor manufaktur China hanya mengalami kontraksi di bulan Februari (angka indeks sebesar 35,7) setelahnya, mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun.

Data tersebut tentunya memberikan harapan perekonomian global akan segera bangkit dan terhindar dari resesi, atau setidaknya tidak mengalami resesi panjang.

Rupiah belakangan ini mengalami tekanan akibat tren kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia yang terus menanjak, bahkan terus mencetak rekor penambahan kasus per hari.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien positif corona Minggu kemarin melaporkan tambahan kasus sebanyak 1.607 orang, menjadi kasus per hari terbanyak sejak virus corona menyerang Indonesia di awal April. Saat ini total kasus di Tanah Air sebanyak 63.749, dan menjadi negara dengan kasus terbanyak ke 26 di dunia

Dari total kasus tersebut, 3.171 orang meninggal dunia dan 29.105 sembuh.

Selain itu rupiah juga tertekan akibat risiko peningkatan inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "burden sharing" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.

Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.

Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.

"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.

Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.

Saat mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% pertengahan Juni lalu, BI memang membuka peluang akan kembali memangkas 7 Day Reserve Repo Rate tersebut.

Akibatnya, riil return yang dihasilkan dengan berinvestasi di Indonesia menjadi lebih semakin rendah, sehingga menjadi kurang menarik di tengah pandemi Covid-19 yang memberikan ketidakpastian ekonomi secara global.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular