China Kirim "Bantuan", Rupiah Bisa Hentikan Pelemahan 7 Hari

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 July 2020 12:12
Karyawan menunjukkan pecahan uang dollar di salah satu tempat penukaran uang di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jumat (16/3/2018). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah belum banyak bergerak melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (6/7/2020). "Bantuan" hawa positif datang dari China, indeks Shanghai Composite melesat lebih dari 4% yang menjadi indikasi sentimen pelaku pasar sedang bagus.

Rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% dan sempat melemah 0,28% ke Rp 14.490/US$, yang menjadi level terlemah hari ini. Rupiah juga menguat juga 0,07% di Rp 14.440/US$. Rentang pergerakan rupiah berada di kisaran area tersebut, dan posisi pada pukul 12:00 WIB di Rp 14.450/US$, sama persis dengan posisi penutupan Jumat pekan lalu. 

Indeks Shanghai Composite China pagi ini melesat lebih dari 4% yang turut mengerek bursa saham Asia lainnya.

Melansir CNBC International, Jackson Wong, direktur aset management di Amber Hill Capital, mengatakan penguatan tajam Shanghai, serta peningkatan volume trading yang signifikan memperkuat ekspektasi jika periode penguatan (bull run) akan kembali datang.

Wong mengatakan salah satu penyebab ekspektasi tersebut adalah kondisi ekonomi China masih masih menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang masih meningkat secara global.

Penguatan tajam tersebut memberikan hawa positif ke rupiah hari ini, meski belum mampu menguat, tetapi pergerakan rupiah lebih stabil, ketimbang Jumat lalu.

Rupiah saat ini masih tertekan akibat risiko peningkatan inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "sharing the pain" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19). BI setuju untuk membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon.

Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.

"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.

Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.

Saat mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% pertengahan Juni lalu, BI memang membuka peluang akan kembali memangkas 7 Day Reserve Repo Rate tersebut.

Alhasil, rupiah membukukan pelemahan 7 hari beruntun melawan dolar AS, dan hari ini berpeluang mengakhiri rentetan hasil buruk tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular