
Bos Garuda Ramal Kinerja Q2 Makin Buruk

Jakarta, CNBC Indonesia - Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) memproyeksikan kinerja maskapai penerbangan BUMN ini masih tertekan pada kuartal II-2020. Pada kuartal I-2020 Garuda mencetak kerugian seiring dengan dampak pandemi virus corona (Covid-19) yang menghantam bisnis maskapai secara global.
"Awal Q1 itu secara tradisional low season, di mana jumlah penerbangan berkurang. Namun di akhir Q1 sudah mulai ada dampak meski belum terlalu keliatan, tapi secara kasat maya [terdampak], detailnya akan kamu sampaikan ke regulator," kata Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra, dalam dialog dengan CNBC Indonesia TV, Senin (6/7/2020).
Irfan menegaskan kinerja perusahaan pada kuartal II masih belum pulih bahkan memburuk seiring dengan anjloknya jumlah penumpang hingga lebih dari 90%.
Bahkan jumlah penumpang terendah itu menjadi titik paling rendah dalam sejarah Garuda Indonesia setidaknya dalam 5-10 tahun terakhir.
"Kuartal II situasinya memburuk, dan jumlah penumpang anjlok lebih dari 90% sehingga berdampak signifikan, sementara pada saat bersamaan kita belum bisa menurunkan fixed cost, nggak bisa turun, karena variable income menurun," jelasnya.
"Kalau kita bandingkan, secara net sangat memukul kita, khususnya Mei kemarin di mana terjadi penurunan drastis penerbangan mencapai titik paling rendah dalam sejarah Garuda, setidaknya 5-10 tahun terakhir," kata mantan Dirut PT Inti (Persero) ini.
Sepanjang kuartal I-2020 lalu, Garuda terpaksa membukukan kerugian bersih senilai US$ 120,1 juta (Rp 1,69 triliun, asumsi kurs Rp 14.100/US$). Kerugian ini berbanding terbalik dengan kinerja perusahaan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat laba sebesar US$ 20,48 juta.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang dipublikasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), laba per saham juga terpaksa bernilai minus US$ 0,00464 dari sebelumnya untung US$ 0,00079.
Pada 3 bulan pertama tahun ini, perusahaan mengalami penurunan sebesar 30,14% secara year on year (YoY). Pendapatan turun menjadi US$ 768,12 juta (Rp 10,83 triliun) dari sebelumnya senilai US$ 1,09 miliar di akhir Maret 2019.
Pendapatan dari penerbangan berjadwal turun menjadi US$ 654,52 juta dari periode sebelumnya US$ 924,93 juta. Sedangkan pendapatan tidak berjadwal justru mengalami peningkatan menjadi US$ 5,31 juta dari sebelumnya US$ 2,86 juta.
Pendapatan lain-lain juga ikut turun menjadi US$ 108,27 juta menjadi senilai US$ 171,75 juta. Sementara itu di pos beban usaha, secara total turun menjadi US$ 945,70 di akhir Maret 2020 dari akhir Maret tahun lalu yang senilai US$ 1,04 miliar.
Perusahaan juga mengalami kerugian atas hasil bersih entitas asosiasi senilai US$ 567.257 dari sebelumnya untung US$ 14.010. Beban keuangan juga melonjak menjadi US$ 150,65 juta di akhir Maret lalu dari sebelumnya sebesar US$ 20,69 juta di periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun demikian, perusahaan membukukan keuntungan kurs sebesar US$ 177,04 juta dari sebelumnya rugi US$ 7,39 juta. Sedangkan pendapatan lain-lain turun menjadi US$ 1,15 juta dari sebelumnya US$ 7,13 juta.
Dari sisi aset, terjadi peningkatan nilai aset total yang signifikan menjadi US$ 9,14 miliar dari US$ 4,45 miliar. Nilai aset lancar mencapai US$ 772,78 miliar dan aset tak lancar US$ 8,37 miliar.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Soal Pensiun Dini Karyawan, Bos Garuda Buka-bukaan Alasannya
