
Simak! Bos Saudi Aramco Blak-blakan soal Minyak Global

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden dan Chief Executive Officer (CEO) Saudi Aramco, raksasa minyak dunia asal Arab Saudi, Amin Nasser buka suara soal proyeksi pasar minyak dunia di tengah pandemi Covid-19.
Pria yang berkarier di Saudi Aramco sejak tahun 1982 itu meyakini permintaan minyak dunia akan mulai pulih pada paruh kedua tahun ini, karena penguncian wilayah atau lockdown dalam mengatasi virus corona perlahan-lahan mereda di sejumlah negara konsumen minyak dunia.
"[Kondisi] yang terburuk [sudah] berada di belakang kita," kata Nasser kepada Vice Chairman IHS Markit, Dan Yergin di acara CERAWeek Conversations yang diadakan secara online pada hari Selasa (30/6/2020), dilansir CNBC International.
"Saya sangat optimistis [soal minyak] di paruh kedua tahun ini," tambahnya. Dia merujuk pada sentimen baiknya data dari China, yang merupakan salah satu konsumer minyak terbesar dunia. Data di China menunjukkan permintaan bensin dan diesel sudah mulai stabil dengan jumlah yang mendekat level sebelum Covid-19.
IHS Markit sebelumnya melaporkan bahwa permintaan China sudah pulih hingga 90% dari level sebelum Covid-19 pada akhir April lalu. IHS Markit adalah penyedia informasi global berbasis di London.
"Semakin banyak negara akan mulai membuka [kembali perekonomian], jadi kami melihat itu tercermin dalam permintaan minyak mentah," kata Nasser yang menjabat CEO Aramco sejak September 2015 ini.
Dia mengatakan permintaan minyak telah pulih kembali menjadi sekitar 90 juta barel per hari, dari sebelumnya 75 juta barel, lalu menjadi 80 juta barel pada bulan April.
Pandangan dari bos raksasa minyak milik negara Arab Saudi ini sejalan dengan proyeksi International Energy Agency (IEA) dan OPEC. Kedua lembaga itu melihat bahwa permintaan minyak rata-rata pada tahun ini masing-masing sebesar 91,7 juta barel per hari dan 90,6 juta barel per hari.
Lembaga lain, Rystad Energy juga sebelumnya sempat memangkas proyeksi permintaan minyak dunia menjadi 89,2 juta barel per hari pada 2020, proyeksi itu turun 10% dari 2019.
"Ada perkiraan berbeda yang melihat antara 95 dan 97 juta barel minyak per hari pada akhir tahun, jadi semuanya akan tergantung pada apakah akan ada gelombang kedua coronavirus atau tidak," kata Nasser.
Di sisi lain, analis, termasuk Vandana Hari di Vanda Insights, percaya lonjakan kasus coronavirus di AS baru baru ini memang membayangi permintaan minyak yang sebetulnya mulai pulih.
"Jumlah negara bagian di AS yang mundur atau menghentikan langkah pembukaan kembali lockdown, yang melewati puncak pandemi, terus bertambah," tulis Hari dalam catatan risetnya kepada klien Rabu (1/7), dilansir CNBC.
![]() A Saudi stock market official smiles as he watches the stock market screen displaying Saudi Arabia's state-owned oil company Aramco after the debut of Aramco's initial public offering (IPO) on the Riyadh's stock market in Riyadh, Saudi Arabia, Wednesday, Dec. 11, 2019. (AP Photo/Amr Nabil) |
Pada pekan lalu, WHO juga memperingatkan bahwa wabah coronavirus di Amerika belum mencapai puncaknya. Organisasi kesehatan PBB ini mengatakan banyak negara di Amerika Utara, Selatan dan Tengah masih menderita penularan secara komunitas yang berkelanjutan.
Lebih dari 2,6 juta orang Amerika telah tertular virus ini, memicu kekhawatiran akan penguncian sosial yang berkepanjangan di negara dengan ekonomi terbesar dunia itu.
"Saya juga tidak begitu khawatir tentang gelombang kedua karena saya pikir kita jauh lebih siap sekarang," kata Nasser. "Semua negara, semua lembaga medis jauh lebih siap. Kami belajar banyak selama gelombang pertama," tambahnya.
Analis di UBS juga memproyeksikan permintaan minyak dunia secara bertahap meningkat, didukung oleh pemulihan ekonomi global, tetapi masih "cenderung lebih rendah pada 2020 dan 2021 daripada di 4Q19," kata UBS dalam catatan riset 1 Juli.
Meningkatkan fundamental permintaan dan penawaran telah membantu harga minyak dunia untuk mencatat kenaikan kuartal terbaiknya dalam hampir tiga dekade. WTI naik sekitar 92% di kuartal kedua, sementara Brent naik 81%.
Namun berdasarkan data Refinitiv datastream pada semester pertama 2020, harga minyak Brent (untuk patokan Asia dan Eropa) dan WTI (patokan Amerika) masih terkoreksi masing-masing sebesar 37,65% dan 35,69%.
Koreksi harga minyak juga turut mendorong jatuhnya harga komoditas lain seperti batu bara yang juga sumber energi primer serta minyak nabati seperti CPO (minyak sawit mentah) yang juga merupakan bahan baku produk substitusi minyak.
Mengacu data CNBC, per 1 Juli 2020 pukul 21.00 WIB tadi malam, harga minyak WTI naik 1,27% menjadi US$ 39,77/barel, sementara minyak Brent juga naik 1,05% di level US$ 41,70/barel.
(tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Laba Q3 Raksasa Minyak Saudi Aramco Terjun Bebas ke Rp 173 T!
