Gelombang PHK Hantui Maskapai RI, Ini Tanda-tandanya

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
01 July 2020 10:35
Sejumlah pesawat dari berbagai maskapai penerbangan di pelataran pesawat Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (4/1/2018)
Foto: Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor industri akibat dampak pandemi Covid-19. Bisnis penerbangan tak luput dari fenomena ini.

Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Bayu Sutanto, mengungkap adanya ancaman itu. Menurutnya, sejauh ini PHK massal di industri penerbangan Indonesia sebenarnya belum benar-benar terjadi.

"Setahu saya sebagai besar hanya yang kontrak. Yang kontraknya habis nggak diperpanjang lagi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (30/6/2020).

Hal demikian yang dilakukan sejumlah maskapai besar seperti Lion Air Group dan Garuda Indonesia Group.

"Yang terjadi sekarang kalau dia karyawan kontrak di bulan bulan ini itu nggak diperpanjang," lanjutnya, kembali menegaskan.

Namun, bukan berarti karyawan tetap maskapai sudah aman. Dia bilang, semua tergantung pada kondisi ke depan.

"Ya kita lihat di bulan Juli kalau nggak bergerak sebetulnya potensi terhadap PHK akan terjadi," tuturnya.

Bisnis penerbangan Indonesia memang masih terguncang dampak pandemi Covid-19. Sepinya penumpang membuat mayoritas pesawat dikandangkan alias grounded.

"Ada pilihan sebenarnya sudah dilakukan semua maskapai. Karena pesawatnya kan nggak terbang, sekarang terbang mungkin belum ada 10% yang terbang," ujarnya.

Hal ini berdampak pada efisiensi pada sumber daya manusia (SDM). Meski tak menyebut angka, namun dia menyebut ada kebijakan maskapai mengurangi alokasi biaya untuk SDM.

"SDM yang masih dipertahankan karena untuk kepentingan berharap penerbangan operasional akan bertambah lagi, umumnya untuk crew terbang ya, pilot pramugari. Itu ada yang istilahnya dikenakan cuti diluar tanggungan. Dibayar minimum," urainya.

Ke depan, dia mengaku kondisi ini sulit berubah. Artinya, menggairahkan kembali bisnis maskapai tergantung pada aspek kesehatan.

"Ini kan kuncinya di kesehatan. kalau vaksin ketemu ya bagus. kalau masih ada belum ketemu vaksin berarti kan harus dengan protokol kesehatan ya itu akan membatasi pertumbuhan bisnisnya. Karena enggak ada penumpang. Penumpangnya berkurang drastis, bisa 50% balik lagi saja udah luar biasa," urainya.

Sejauh ini, diakui bahwa industri maskapai belum terlalu bergairah. Minimnya minat masyarakat bepergian tercermin melalui sejumlah catatan.

"Saat ini belum sih, kita bisa lihat di pembukuan banyak airline dan juga di travel agent ya masih rendah. Karena ini kan krisis kesehatan, jadi minat bepergian masih rendah," ungkapnya.

Sejauh ini dia mengatakan hanya segmentasi tertentu yang berminat melakukan perjalanan. Itu pun syarat dan ketentuan berlaku.

"Yang sekarang bepergian itu hanya segmen korporasi atau pemerintahan. ada protokol kesehatan yang harus dipenuhi jadi tidak bisa serta-merta mau pergi langsung pergi kan harus ada yang dipenuhi protokolnya," ujarnya.

Lalu berapa tingkat okupansi maskapai? Dia menyatakan bahwa pesawat bahkan tak sampai terisi separuh.

"Jadi demand-nya masih rendah, mungkin sekitar 30% saja sudah bagus.

Saya dengar dari teman-teman maskapai sekitar 30-40% kalau weekend. Tapi masih rendah, belum semua rute juga," tandasnya.

Garuda dan AirAsia

Maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), mengungkapkan perseroan sudah merumahkan sementara waktu sekitar 800 karyawan dengan status tenaga kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama 3 bulan terhitung sejak 14 Mei 2020.

Namun perseroan tidak dijelaskan apakah dari 800 karyawan kontrak ini termasuk pilot. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan kebijakan merumahkan karyawan dengan status PKWT tersebut merupakan upaya lanjutan yang perlu ditempuh perusahaan di samping upaya-upaya strategis lain yang telah dilakukan,

Hal ini dilakukan guna memastikan keberlangsungan perseroan tetap terjaga di tengah kondisi operasional penerbangan yang belum kembali normal sebagai dampak pandemi Covid-19.

"Kebijakan tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang matang dengan memperhatikan kepentingan karyawan maupun perusahaan dan dilakukan dalam rangka menghindari dilakukannya PHK. Di samping itu, implementasi kebijakan ini juga telah melalui kesepakatan dan diskusi dua arah antara karyawan dan Perusahaan" papar Irfan, dalam keterbukaan informasi, dilansir CNBC Indonesia, Selasa (2/6/2020).

Sementara itu, maskapai penerbangan low cost carrier (LCC) alias bertarif murah, PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) tengah mengalami tekanan dari sisi kinerja akibat pandemi virus corona (Covid-19) yang juga menghantam industri penerbangan dalam negeri dan global.

Dari sisi jumlah karyawan, per Desember 2019 jumlah karyawan AirAsia Indonesia baik tetap maupun tidak tetap mencapai 1.691 orang, saat ini sebanyak 1.645 orang, atau berkurang 46 orang (termasuk pengunduran diri).

"Jumlah karyawan PHK [pemutusan hubungan kerja] 9 orang, jumlah yang dirumahkan 873 orang, jumlah karyawan terdampak dengan status lain (misalnya pemotongan gaji 50% dan lainnya) mencapai 328 orang," jelas Sekretaris Perusahaan AirAsia Indonesia, Indah Permatasari Saugi, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), dilansir Senin, (1/6/2020).


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Merana Maskapai RI Gegera Corona, Harus Potong Gaji Karyawan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular