Penerbangan Baru Pulih 2022, Sanggupkah Garuda Cs Bertahan?

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
03 June 2020 10:53
Sejumlah pesawat dari berbagai maskapai penerbangan di pelataran pesawat Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (4/1/2018)
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Maskapai penerbangan di bawah naungan Indonesia National Air Carriers Association (INACA) memperkirakan pukulan Covid-19 terhadap industri penerbangan masih akan panjang terasa. Staf ahli INACA, Darmadi, bahkan menyebut, tekanan itu masih akan terjadi hingga 2022 mendatang.

"Di dalam kajian IATA [The International Air Transport Association] disampaikan kepada seluruh anggota maskapai di dunia, keadaan maskapai Indonesia saat ini menurut IATA adalah Revenue Passenger Kilometers (RPK) di 2019 akan di-recovery pada 2022. Global RPK di 2021 kira-kira di 20-41% dari sebelum Covid-19," ungkapnya dalam sebuah diskusi yang digelar Kementerian Perhubungan, Selasa (2/6/20).

Dia menambahkan, pukulan tersebut juga tercermin dari penurunan penumpang. Hal ini terjadi menyeluruh, baik penerbangan internasional maupun domestik.

"Penumpang domestik ini dari Januari sampai Mei tinggal 14% di domestik. Di internasional sendiri kalau di-capture dari airport prioritas seperti Cengkareng, Surabaya, Medan, tinggal 35%," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) Irfan Setiaputra menyatakan hal senada. Dia bahkan blak-blakan bahwa pendapatan perseroan merosot drastis.

"Untuk Garuda sendiri saya pikir nggak unik dibandingkan airline yang lain, pendapatan kita menurun hampir di level 90%, jadi tinggal 10%," urainya.

Selain itu, 70% pesawat milik Garuda Indonesia harus dikandangkan alias grounded di tempat parkir. Adapun mayoritas penerbangan, load factor-nya hanya terisi di bawah 50%.

"Jadi ini impact-nya sangat berat untuk industri Garuda dan airlines lain.Yang lebih berat lagi adalah airline itu pada dasarnya adalah industri yang sangat capital intensive. Marginnya juga di bawah double digit, jadi single digit. Begitu ada goyangan seperti ini akan sangat terasa sekali," katanya.

Irfan juga mengungkapkan skenario new normal bakal membuat ongkos penerbangan lebih mahal. Hal ini tidak lepas dari sejumlah protokol yang wajib diterapkan, antara lain soal pembatasan kapasitas penumpang hanya 50%.

"Garuda tetap mempertahankan distancing di pesawat. Akibat dari ini semuanya tentu punya masalah dari segi bisnis dan ekonomi. Ini yang perlu didiskusikan, kami komunikasi dengan Kemenhub untuk memastikan industri ini punya napas berkelanjutan, paling tidak tetap memperoleh keuntungan," ungkapnya.

Konkretnya, dia menegaskan, perlu adanya review harga tiket pesawat. Apalagi, dalam masa new normal nanti hanya orang-orang tertentu saja yang boleh terbang.

"Tidak dapat dipungkiri naik pesawat itu nanti klasifikasinya untuk yang harus terbang saja. Yang selama ini terbang langsung ke bandara lebih ribet dan kompleks prosesnya, yang kedua mungkin akan lebih mahal," katanya.

Kendati bakal lebih mahal, dia berharap bahwa sederet syarat yang dibebankan kepada penumpang, tidak lebih mahal dibandingkan ongkos tiket pesawat itu sendiri. Irfan memberi contoh, ada sejumlah tes kesehatan yang tarifnya lebih mahal dibandingkan ongkos tiket di rute tertentu.

"PCR test [polymerase chain reactionyang Rp 2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya, itu jauh lebih mahal daripada biaya bepergian khususnya lokasi yang berdekatan seperti Jakarta-Surabaya," katanya.

"Jadi apalagi kalau bepergian 7 hari yang berarti harus PCR dua kali dan biayanya harus Rp 5 juta, sementara perjalanan bolak balik hanya 1,5 juta," katanya lagi.

[Gambas:Video CNBC]





(tas/tas) Next Article Waduh! Ogah Bayar Ganti Rugi Penumpang, Lion Air Kena PKPU

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular